Nasib TPP Tak Jelas, Pemerintah Nilai Blok Dagang Cina Lebih Tepat
Mundurnya Amerika Serikat (AS) membuat perundingan perjanjian kerja sama perdagangan bebas Trans Pacific Partnership (TPP) terkatung-katung. Indonesia yang sempat menyatakan niat untuk bergabung, kini menunggu keputusan 11 negara anggota lain soal nasib TPP.
Di samping itu, pemerintah pun condong ke blok dagang Cina. "Barangkali Indonesia lebih cocok untuk RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership) dulu, baru kemudian ke TPP," ujar Deputi Koordinasi Bidang Kerja Sama Ekonomi Internasional Rizal Affandi Lukman di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Jumat (27/1).
Rizal mengatakan, saat ini pemerintah masih akan menunggu perkembangan nasib TPP. Sebab, keluarnya AS sebagai inisiator pakta dagang itu tidak otomatis membatalkan TPP.
Menurutnya, saat ini di antara 11 negara anggota TPP sedang membahas opsi untuk menggantikan AS dengan negara lainnya. “Tapi sampai sekarang, hal tersebut belum diputuskan,” ujarnya.
(Baca juga: Diputus Trump, Anggota Pakta Dagang TPP Pecah Suara)
Selain Amerika Serikat, Negara anggota TPP adalah Jepang, Malaysia, Vietnam, Singapura, Brunei Darussalam, Australia, Selandia Baru, Kanada, Meksiko, Cile, dan Peru.
Saat ini, baru Jepang yang telah meratifikasi perjanjian TPP. Dengan keluarnya Amerika Serikat, menurut Rizal, pembahasan TPP ini pun akan semakin berlarut-larut. Alasannya, dengan memasukan negara lain atau berjalan dengan 11 negara tetap memerlukan perubahan dalam perjanjian yang akan diteken.
Untuk itu, Rizal menyatakan, blok kerjasama RCEP yang lebih memungkinkan untuk Indonesia. RCEP sendiri merupakan perjanjian kerja sama antar negara ASEAN bersama dengan enam negara lainnya, termasuk Cina, India, Korea Selatan, Selandia Baru, dan Australia.
Menurut Rizal, sebagai anggota ASEAN, Indonesia secara organik memang lebih dekat untuk bergabung dengan RCEP. Selain itu, sebagian negara anggota TPP juga merupakan bagian dari RCEP. Blok dagang ini juga diklaim memiliki dampak ekonomi yang cukup besar terhadap perekonomian global ketimbang TPP.
(Baca juga: Efek Trump, Ekspor Produk Pangan ke Amerika Bisa Meningkat)
Ia juga menyatakan bahwa untuk mengantisipasi gagalnya TPP ini, pemerintah terus melakukan kerja sama perdagangan bilateral dengan negara lain. Saat ini yang sedang dalam proses perundingan adalah dengan Uni Eropa.
Kemudian, pemerintah juga akan menjajaki kerjasama dengan negara-negara yang bukan menjadi negara tujuan ekspor Indonesia pada umumnya (non-traditional market). "Contohnya yaitu ke Iran, Nigeria, beberapa negara di Afrika, dan Maroko," ujar Rizal.
Sementara itu, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong mengatakan bahwa pemerintah Australia justru meminta Indonesia dan Cina untuk ikut dalam perjanjian kerja sama TPP untuk menggantikan Amerika Serikat.
Atas permintaan itu, Lembong menyatakan, pemerintah masih akan terus mengkaji kekurangan dan kelebihan mengikuti TPP tersebut. "Tapi, itu masih komentar awal, masih belum ada detailnya akan seperti apa," ujar Lembong.
(Baca juga: Bahas Laut Cina Selatan dengan Dubes AS, Luhut: Kita Tak Bisa Didikte)