Efek Trump, Pemerintah Fokus Ekspor ke Eropa, Australia, Jepang
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Trikasih Lembong menyatakan, Indonesia perlu meningkatkan kerjasama dagang dengan negara-negara selain Amerika Serikat (AS). Sebab, pasar AS diperkirakan bakal makin sulit ditembus dengan adanya kebijakan-kebijakan protektif dari presiden terpilihnya, Donald Trump.
Di bawah kepemimpinan Trump, Lembong meramal, program kerjasama dagang di kawasan Pasifik, yaitu Trans Pacific Partnership (TPP), yang dimotori AS bakal meredup. Selain itu, AS akan menerapkan pajak impor yang lebih tinggi.
“Mengingat AS akan lebih sulit, maka kita harus lebih gencar mengejar pasar ekspor ke Eropa, Australia, Jepang,” katanya dalam acara DBS Asian Insight Conference 2016 bekerjasama dengan Katadata di Jakarta, Kamis (17/11).
Tahun depan, Lembong mengungkapkan, pemerintah bakal menandatangani perjanjian dagang dengan Australia. “Ini yang pertama kali sejak 10 tahun terakhir. Sebelumnya, kita tidak melakukannya,” kata dia. (Baca juga: Efek Trump, Pengusaha Minta Pemerintah Ubah Strategi Dagang)
Meski mengakui kepemimpinan Trump bakal berdampak besar terhadap perdagangan, pemerintah optmistis mampu mengelola dampaknya (manageable). “Dampaknya tidak akan sebesar yang diperkirakan investor di pasar modal," ujar Lembong.
Seperti diketahui, terpilihnya Trump sebagai presiden AS direspons negatif pelaku pasar. Alhasil, pasar saham dan obligasi global terus bergejolak. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat terpukul hingga mendekati ambang 5.000, sedangkan nilai tukar rupiah sempat menembus 13.800 per dolar AS.
(Baca juga: Tren Peningkatan Ekspor Bisa Terpukul Kebijakan Trump)
Meski begitu, Lembong menyakini, arus ekspor ke AS pasca kepemimpinan Trump tak akan terganggu. Namun, harga barang-barang dari luar AS bakal lebih mahal, termasuk harga gadget bermerek Apple. "Karena Apple misalnya, sudah pabrik di Tiongkok, Vietnam. Ini sudah terlanjur, jadi tidak akan mengurangi impornya," ujarnya.
Sementara itu, Ekonom DBS Bank Gundy Cahyadi berpendapat, seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah adalah inflasi di AS, bukan perdagangan. Sebab, Indonesia belum tergabung dalam TPP. Penghentian TPP justru akan menguntungkan Indonesia lantaran industri tekstil yang didorong dalam perjanjian tersebut didominasi oleh Vietnam.
Atas dasar itu, Gundy menilai, pemerintah perlu mencermati inflasi AS dan potensi bank sentral AS, The Federal Reserve menaikkan suku bunga dananya (Fed Fund Rate). "Memasuki 2017, kita harus memonitor apakah suku bunga masih rendah dengan tekanan inflasi AS,” kata dia.
Ia pun memprediksi tekanan kurs, termasuk rupiah, masih akan terus berlanjut hingga tahun depan. (Baca juga: Topang Rupiah, Aliran Dana Repatriasi Perlu Dipercepat)