Pengembangan D100 Ditaksir Mampu Serap 30 Juta Ton Minyak Sawit
PT Pertamina (Persero) mulai memproduksi green diesel atau D100 yang merupakan hasil pengolahan minyak kelapa sawit Refined, Bleached and Deodorized Palm Oil (RBDPO) 100%. Langkah ini disambut baik Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo).
Ketua Umum Apkasindo, Gulat ME Manurung memperkirakan penyerapan crude palm oil (CPO) dari program tersebut dapat mencapai 30 juta ton per tahun. Angka ini didapat seiring rencana Pertamina memproduksi D100 sebanyak 1.000 barel per hari.
Dengan meningkatnya serapan sawit dalam negeri, hal itu diharapkan bisa berdampak terhadap harga jual sawit dan tandan buah segar (TBS) petani.
"Kalau kita lihat mencapai program B30 saja serapan CPO domestik sudah 9 juta ton, kalau mencapai 100% paling tidak ada 30 juta ton yang terserap dalam negeri, sementara produksinya mencapai 50 juta ton," kata Gulat kepada Katadata.co.id, Kamis (16/7).
(Baca: Pertamina Produksi D100, Apa Bedanya dengan B100?)
Menurut dia, dengan adanya program tersebut, serapan sawit dalam negeri akan meningkat, porsi ekspor dan pasokan sawit dunia menurun. Alhasil, harga sawit akan meningkat.
Indonesia pun memiliki keleluasaan menentukan harga, ketimbang saat ini yang masih mendapat intervensi dari pasar internasional. Saat ini, dari produksi sawit yang mencapai 50 juta ton setahun, 70% di antaranya ekspor.
"Analisis saya itu, jika ekspor kita di bawah 50%, maka yang menentukan harga CPO dunia adalah Indonesia. Sekarang kita masih tergantung pada ekspor, nanti kita yang menentukan harga," kata dia.
Adapun selama pandemi corona, dia menilai permintaan minyak nabati berbahan baku sawit menjadi lebih tinggi. Ini dikarenakan, harga minyak nabati dari bunga matahari dan kedelai bisa lebih mahal 10 kali lipat dibandingkan dengan berbahan sawit.
"Sawit ini kan produksi bahan yang tidak tergantikan dari komoditas sejenis, katakanlah dengan barang kedelai itu harganya akan 10 kali lebih mahal dari CPO. Pada situasi perekonomian negara-negara lain yang tengah sulit mereka akan mencari barang yang lebih murah," kata Gulat.
Pendapat senada juga diungkap Ketua Umum Gapki Joko Supriyono. Dia mengatakan, pengusaha menyambut positif program Pertamina tersebut. Dengan adanya D100, konsumsi solar dapat digantikan dengan produk nabati yang lebih menguntungkan produsen sawit dalam negeri.
"Program D100 sudah pasti berdampak positif untuk industri sawit secara keseluruhan, hanya saja yang perlu didetailkan peta jalannya (roadmap) ke depan seperti," kata dia.
Program D100 yang dicanangkan Pertamina merupakan bahan bakar minyak atau BBM ramah lingkungan tersebut merupakan hasil pengolahan Refined, Bleached and Deodorized Palm Oil (RBDPO) 100% di Kilang Dumai. Skema RBDPO merupakan pengolahan minyak kelapa sawit atau CPO yang diproses lebih lanjut sehingga hilang getah, impurities maupun baunya.
(Baca: Pertamina Siap Produksi Pertama Kali BBM dari 100% Kelapa Sawit)
Uji coba pengolahan produksi yang dilaksanakan pada 2 - 9 Juli 2020 tersebut merupakan uji coba ketiga setelah sebelumnya uji coba RBDPO melalui co-processing hingga 7,5% dan 12,5%. Keberhasilan tersebut mendapat dukungan pemerintah melalui kunjungan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita ke Unit DHDT Refinery Unit (RU) II Dumai pada Rabu (15/7).
Agus menyebut, Presiden Joko Widodo mengarahkan untuk mengawal implementasi Program Bahan Bakar Nabati (BBN) dalam rangka mengoptimalkan kelapa sawit sehingga meningkatkan kesejahteraan petani.
Seperti diketahui, sawit merupakan salah satu komoditas andalan Indonesia dan menjadi penyumbang devisa terbesar setelah batu bara. Berdasarkan data Kementerian Pertanian , pada 2019, produksi sawit (minyak sawit dan inti sawit) 2018 tumbuh 6,85% menjadi 48,68 juta ton dari tahun sebelumnya.
Jumlah produksi tersebut terdiri atas sawit dari perkebunan rakyat sebesar 16,8 juta ton (35%), perkebunan besar negara 2,49 juta ton (5%), dan perkebunan besar swasta 29,39 juta ton (60%). Produksi sawit nasional telah melonjak lebih dari 5.600% atau sekitar 144% per tahun.