Penerapan ISPO Dianggap dapat Atasi Kendala Tembus Pasar Sawit ke AS
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mendorong perusahaan sawit mempercepat implementasi Indonesia Sustainability Palm Oil (ISPO). Upaya ini untuk menghindari serangan kepada produsen sawit tarkait praktik berkelanjutan, seperti yang dialami produsen Malaysia.
Sebelumnya, pemerintah Amerika Serikat (AS) memblokir seluruh ekspor minyak sawit milik perusahaan asal Malaysia FGV Holding Bhd dan anak usaha terkait dugaan kerja paksa.
Ketua Umum Gapki Joko Supriyono khawatir anggapan tersebut tersebut digeneralisir ke seluruh perusahaan sawit dan digunakan pihak tertentu untuk menyudutkan komoditas sawit. Untuk menghalau tudingan ini, perusahaan harus memiliki sertifikasi berkelanjutan atau ISPO.
"Perusahaan yang sudah tersertifikasi ISPO tidak perlu dipertanyakan lagi praktek manajemen ketenagakerjaannya," kata Ketua Umum Gapki, Joko Supriyono kepada katadata.co.id, Jumat (2/10).
Data Sekretariat ISPO menunjukkan, hingga 10 Maret 2020, lahan sawit yang telah tersertifikasi mencapai 5,45 juta hektare atau 33,27% dari total areal sawit. Sementara jumlah sertifikat ISPO yang sudah diterbitkan mencapai 621 terdiri dari 607 perusahaan, 10 koperasi swadaya, dan 4 Koperasi Unit Desa plasma.
Pemerintah tengah menyiapkan aturan turunan dari Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia. Aturan turunan tersebut antinya berbentuk Peraturan Menteri Pertanian (Permentan).
Deputi Pertanian dan Kehutanan Kemenko Perekonomian Musdhalifah Machmud mengatakan, turunan Perpres 44/2020 bertujuan untuk memperbaiki tata kelola ISPO dengan membuka ruang partisipasi publik. Lalu, untuk meningkatkan akuntabilitas, dan transparansi dan prinsip ketelusuran.
Boikot Ekspor Sawit Malaysia
Ekspor sawit ke sejumlah negara tak sepenuhnya mulus. Dikutip dari Bloomberg, Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan (CBP) AS menyatakan, menahan pengiriman seluruh minyak sawit FGV Holding Bhd dan anak usaha di pelabuhan sejak Rabu, (30/9) karena dugaan kerja paksa.
Berdasarkan penyelidikan selama setahun, CBP mengatakan memiliki bukti kerentanan, penipuan, pembatasan gerak, isolasi, intimidasi hingga kekerasan fisik dan seksual terhadap tenaga kerja perusahaan.
Merespons tudingan tersebut, FGV mengatakan telah berkomunikasi dengan bea cukai AS sejak Agustus 2019 dan terus terlibat dalam pembersihan nama perusahaan. Mereka juga mengklaim telah menyerahkan bukti kepatuhan mengenai standar ketenagakerjaan dan membuka informasi kepada publik.
“Kami kecewa karena keputusan tersebut itu berlaku setelah FGV menunjukkan langkah konkret sejak beberapa tahun lalu serta komitmen menghormati hak asasi manusia dan menegakkan standar ketenagakerjaan,” tulis FCG dalam pernyataannya.
Sedangkan dikutip dari Antara, FGV memiliki banyak pekerja perkebunan yang berasal dari Indonesia. Di negaranya, perseroan memiliki 197 perkebunan yang terletak di Selangor, Perak, Pahang, Negeri Sembilan, Johor, Sabah dan Sarawak.
Sementara di Indonesia, kegiatan perkebunan terfokus di lima area di Kalimantan Tengah dan Barat.
Aksi pemblokiran sawit AS semakin menekan industri sawit Malaysia. Pasalnya, selama pandemi Covid-19 menyebabkan banyak restoran tutup sehingga permintaan minyak goreng berkurang. Malaysia merupakan eksportir minyak sawit terbesar kedua ke AS sekaligus produsen terbesar kedua di dunia.
Data Departemen Pertanian AS menunjukkan, pada 2019 total minyak tropis yang diekspor ke Negeri Paman Sam dari Malaysia mencapai US$ 441 juta. Sebagian besar ekspor tersebut merupakan jenis minyak sawit olahan.
Sedangkan periode Januari hingga Juli 2020, volume pengiriman minyak tersebut turun 15%.
Riset Rabobank memperkirakan, refisit minyak sawit global meningkat setelah 2025. Ini disebabkan karena aktivitas penanaman kembali (replanting) yang tidak memadai beberapa tahun terakhir serta mandat biodiesel di Malaysia dan Indonesia yang menyebabkan pasokan sawit banyak terserap di dalam negeri.