Produksi dan Penjualan Merosot, Kondisi Sektor Manufaktur RI Memburuk
IHS Markit melaporkan kondisi sektor manufaktur di Indonesia memburuk pada awal kuartal IV tahun ini. Hal tersebut tercermin dari Purchasing Managers’ Index yang masih dalam fase kontraksi meski sedikit naik dari posisi 47,2 pada bulan September ke 47,8 pada bulan Oktober.
Kepala Ekonom IHS Markit Bernard Aw menjelaskan, posisi PMI Indonesia yang masih di bawah 50 menunjukkan penurunan lebih jauh pada kondisi kesehatan sektor manufaktur. "Dengan tingkat produksi dan penjualan yang terus merosot," kata dia dalam laporannya dikutip Rabu (4/11).
Menurut dia, produsen barang Indonesia masih terus berjuang melawan permintaan yang lemah, biaya tambahan yang naik, dan pembatasan terkait Covid-19 yang terus berlanjut. Akibatnya, mereka harus mengurangi kapasitas dan investasi agar dapat terus bertahan.
Perusahaan terus memangkas jumlah karyawan, pembelian input, dan inventaris pada bulan Oktober. Data harga menunjukkan tekanan margin yang lebih besar, karena harga input terus meningkat sedangkan beban output turun pertama kali dalam tujuh bulan.
Bernard menilai pelonggaran PSBB di Jakarta pada pertengahan bulan Oktober hanya memberikan sedikit dorongan terhadap sektor manufaktur. Volume produksi mengalami kontraksi selama dua bulan berturut-turut, meskipun tingkat penurunan mulai berkurang mencapai laju lebih lambat.
Sama halnya dengan output, arus masuk pesanan baru menurun pada laju lebih lambat. Sementara itu, permintaan eksternal terus melemah pada laju substansial. Para responden menekankan bahwa dampak dari pandemi terus memperburuk kondisi permintaan secara keseluruhan.
Rantai pasokan pun masih di bawah tekanan. Waktu pengiriman diperpanjang selama sembilan bulan berturut-turut, dengan tingkat perpanjangan sama seperti bulan September dan tergolong sedang secara keseluruhan.
Distribusi input dilaporkan terdampak oleh pandemi, cuaca buruk, dan demo buruh. Sementara itu, harga input terus naik dengan kenaikan laju inflasi dari bulan September.
Bukti anekdotal menunjukkan kenaikan harga bahan mentah, termasuk logam dasar, bahan kimia, plastik, dan beberapa bahan pangan, yang mendorong kenaikan biaya. Dengan begitu, perusahaan mengurangi harga jual sehingga menandai penurunan pertama pada biaya output sejak bulan Maret.
Kendati demikian, ia memperkirakan dampak pelonggaran PSBB hanya akan terlihat pada bulan November. "Namun, ketidakpastian berlangsungnya pandemi ini dan juga ketiadaan vaksin yang efektif, dapat menahan permintaan dan aktivitas ekonomi tetap lesu pada bulan-bulan ke depan," ujarnya.
Ekonom Center Of Reform on Economics Yusuf Rendy Manilet mengatakan peningkatan PMI tidak terlepas dari pelonggaran PSBB yang sudah dilakukan di Jakarta sejak pertengahan Oktober bulan lalu. Namun, indeks masih berada di level kontraksi karena pelaku usaha masih wait and see apakah ada kemungkinan kebijakan PSBB kembali akan diberlakukan.
"Karena masih berada di level kontraksi indeks PMI belum bisa menggambarkan tanda pemulihan yang optimal," kata Yusuf kepada Katadata.co.id, Rabu (4/11).
Selanjutnya, dia menilai, perlu dilihat apakah pada bulan November indeks PMI akan kembali meningkat dan berada di level ekspansi. Dari hasil tersebut, baru bisa diambil kesimpulan apakah ekspansi pelaku usaha sudah terjadi.