Mendag Lutfi Tuding Ada Mafia di Balik Kelangkaan Minyak Goreng
Kementerian Perdagangan (Kemendag) menduga ada mafia dalam rantai perdagangan minyak goreng (migor) yang membuat kelangkaan dan harga mahal di pasar. Menteri Perdagangan Muhamad Lutfi mengatakan secara perhitungan seharusnya 500 juta liter minyak goreng yang merupakan hasil dari kewajiban pasar domestik (DMO) minyak sawit mentah (CPO) selama 28 hari terakhir, dapat mencukupi kebutuhan masyarakat.
Namun yang terjadi sebaliknya, masyarakat kesulitan mendapatkan minyak goreng. "Tingginya harga CPO dunia menyebabkan orang-orang yang sebelumnya tidak berpikir untuk berbuat curang, menjadi berbuat curang," kata Lutfi saat inspeksi mendadak (sidak) di Kawasan Industri Marunda, Selasa (15/3).
Lutfi mengatakan pemerintah tak akan membiarkan para mafia itu terus beraksi. "Bagi mafia-mafia migor yang berusaha mendapatkan keuntungan sesaat, kami datang, tertibkan dan sikat bersama," kata Lutfi.
Pada sidak tersebut, Lutfi menggandeng Kapolri Listyo Sigit Prabowo. Listyo mengatakan saat ini kepolisian masih mengumpulkan informasi dan data. "Kami belum bisa menjawab fenomena (kelangkaan) yang terjadi, ini yang sedang kami dalami," kata dia.
Rombongan kementerian dan Polri mendatangi dua tempat, yakni kawasan pergudangan dan pabrik pengolahan PT Bina Karya Prima (BKP) yang memproduksi minyak goreng merek Tropical. Tropical memiliki pangsa pasar migor sebanyak 16% sampai 20%.
Setelah sidak, Listyo menuturkan bahwa mereka tak menemukan masalah atau penimbunan di PT BKP. Perusahaan juga memenuhi DMO CPO dan kewajiban harga domestik (DPO).
Selama menjalankan DMO, perusahaan ini menaikkan jumlah produksinya dua kali lipat. "Ternyata bisa berproduksi dan produksinya dua kali lipat dengan harga yang ditetapkan pemerintah," kata Listyo.
Eksportir CPO wajib memenuhi DMO sebanyak 20% dari total ekspor CPO. Harga CPO hasil DMO itu memiliki DPO senilai Rp 9.300 per kilogram (Kg) untuk CPO dan Rp 10.300 per Kg untuk olein.
Tropical memiliki desain penjualan agar harga di pasar tradisional dilego senilai Rp 14 ribu. Selain itu, distribusi dari pabrikan hingga ke pasar tradisional dinilai tidak memiliki kendala. "Artinya, dari sisi distribusi tidak ada masalah. Kenapa harga bisa meningkat dan kemudian di pasar jumlahnya menurun atau langka? Ini yang akan kami cek satu per satu," ujar Listyo.
Sebelumnya, Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) menyatakan sebagian oknum langsung menyerbu migor pemerintah saat disalurkan oleh distributor pelat merah di pasar tradisional. Migor tersebut tidak kembali dijual di pasar tradisional, tapi ditawarkan ke pabrikan pengguna CPO sebagai CPO maupun stearin.
"Itu berlaku di 543 kabupaten/kota di Republik. Dia tidak akan jual itu berupa migor karena akan ditangkap, makanya di-declare (sebagai) CPO atau stearin," kata Sahat kepada Katadata, Senin (14/3).
Sahat menyebutkan konsumen membeli migor hasil DMO dengan harga eceran tertinggi (HET ) dan dijual menjadi CPO maupun stearin berdasarkan harga pasar. Alhasil, konsumen mendapatkan rata-rata margin sebesar Rp 8 ribu per liter.
Menurutnya, pabrikan pengguna CPO tidak bisa disalahkan lantaran tidak ada aturan yang melarang hal tersebut. Selain itu, Sahat berpendapat tidak ada aturan yang mengatur bahwa migor tidak boleh dinyatakan sebagai CPO maupun stearin.
"Persoalan (migor ada di bagian) penyaluran. Penyaluran (migor) itu bocor resmi karena beli (migor), declare ini CPO. Nggak ada UU yang melarang warna biru (migor) jadi hijau (CPO)," kata Sahat.