Takut Bayar Pajak, Distributor Enggan Salurkan Minyak Goreng Curah
Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) menyatakan tantangan terbaru dalam industri minyak goreng nasional adalah minimnya kerja sama distributor 2 (D2) dalam rantai pasok. Banyak distributor yang takut menyalurkan minyak goreng karena khawatir harus membayar pajak.
"D2 nggak ada yang mau (mendistribusikan minyak goreng curah) karena takut pajak," kata Direktur Eksekutif GIMNI Sahat Sinaga di Jakarta, Senin (18/4).
Distribusi industri minyak goreng secara umum dapat dibagi menjadi tiga lapis, yakni D1, D2, dan D3. Distributor 1 adalah pelaku distribusi di tingkat nasional. Distributor 2 adalah pelaku tingkat kabupaten, sedangkan D3 adalah agen minyak goreng yang kerap ditemui di pasar tradisional.
Berdasarkan Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) No. 8 tahun 2022, distributor D2 kini harus tercatat dalam Sistem Informasi Minyak Goreng Curah (Simirah). Padahal, menurut Sahat, sebagian pelaku D2 sebelumnya tidak mencatatkan diri ke dalam sistem negara. Sebab, pelaku usaha yang tercatat oleh sistem negara berarti akan memiliki kewajiban membayar pajak.
Sementara seluruh penyaluran oleh distributor 1 saat ini telah tercatat dan dilaporkan ke Kementerian Perdagangan. "Jadi masalahnya ada di D2 yang selama ini belum tercatat dan sekarang khawatir akan terkena pajak,"katanya.
Untuk mengatasi masalah distribusi minyak goreng curah tersebut, GIMNI bekerja sama dengan Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) dan Induk Koperasi Pasar (Inkopas). Dua organisasi itu saat ini menangani distribusi minyak goreng curah ke seluruh Kabupaten/Kota di Pulau Jawa.
Sahat mengatakan, ketersediaan minyak goreng di pasar melebihi konsumsi nasional. Pemerintah telah menyalurkan 465 juta kiloliter minyak goreng selama aturan kewajiban pasar domestik (DMO) diterapkan. Sementara kebutuhan minyak goreng nasional hanya mencapai 319 juta kiloliter. Itu berarti, seharusnya ada kelebihan pasokan minyak goreng sebesar 45% yang ada di pasar.
Sebelumnya, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mewajibkan 81 produsen minyak goreng (migor) curah memproduksi sebanyak 14 ribu ton per hari. Pemerintah memperkirakan konsumsi minyak goreng curah ditaksir mencapai 7.000 – 8.000 ton per hari dengan harga eceran tertinggi (HET) Rp 14 ribu per liter.
“Ini adalah bentuk upaya pemerintah memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap minyak goreng sekaligus menjaga ekonomi terus bergerak melalui usaha kecil dan mikro,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita dalam keterangan resmi, Selasa (22/3).
Kebijakan Kemenperin ini tertuang dalam Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 8 Tahun 2022 tentang Penyediaan Minyak Goreng Curah untuk Kebutuhan Masyarakat, Usaha Mikro, dan Usaha Kecil dalam Kerangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Dalam aturan itu, pabrikan migor curah wajib mendaftarkan dirinya ke dalam Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas). Dalam sistem itu, perusahaan melengkapi informasi terkait volume bahan baku, volume produksi, jalur distribusi.
Harga minyak goreng yang tinggi membuat pemerintah mengeluarkan kebijakan bantuan langsung tunai (BLT) minyak goreng. Bantuan tersebut dianggarkan sebesar Rp 6,4 triliun dan disalurkan pada 4-21 April 2022.