Dua Negara Setop Impor Hewan Ternak Hidup dari RI Imbas Wabah PMK
Penyakit mulut dan kuku (PMK) pada hewan ternak diprediksi menyebabkan kerugian yang sangat besar yaitu mencapai Rp 9,9 triliun. Australia dan Malaysia bahkan telah menghentikan sementara impor daging hewan ternak hidup dari Indonesia seperti Sapi, Domba, dan Kambing.
Direktur Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementan, Ira Firgorita, mengatakan wabah PMK disebabkan virus yang sangat menular. Penyakit ini menyebabkan penurunan produktivitas pada hewan ternak.
“Kalau pada ternak pedaging bisa ada penurunan produsi daging, kalau (pada ternak) susu maka mengakibatkan produksi susunya alami penurunan, hingga ke resiko kematian,” ujar Ira dalam webinar "Mitigasi Lalu Lintas Ternak dan Pelaksanaan Kurban di Tengah Wabah PMK" di Jakarta, Selasa (24/5).
Dia mengatakan, hewan ternak yang terjangkit wabah PMK juga akan mengalami penurunan harga jual.Namun demikian, hewan ternak ini masih aman untuk disembelih dan dikonsumsi.
Berdasarkan kajian beberapa ahli, Ira mengatakan, potensi kerugian akibat wabah PMK bisa mencapai Rp 9,9 triliun. “Banyak para ilmuwan atau para periset yang melakukan kajian dampak kerugian ekonomi dari PMK, dan bisa lebih dari yang dihitung pada saat itu yaitu Rp 9,9 tirliun,” ujarnya.
Penyakit ini juga berpotensi terhadap larangan ekspor untuk ternak hidup baik sapi, domba, kambing, dan turunan ternak. “Kita sudah menerima pernyataan untuk penghentian sementara dari Australia dan Malaysia,” katanya.
Oleh sebab itu, Ira mengatakan, dampak wabah PMK perlu ditanggulangi bersama-sama. Hingga 22 Mei 2022, wabah PMK menyebar cepat ke 82 Kabupaten/Kota di 16 Provinsi. Jumlah hewan ternak yang terinfeksi PMK mencapai 20.723 ekor atau sekitar 0,38% dari total populasi terdampak sebesar 5,45 juta ekor.
Wabah PMK Meningkat di Asia Tenggara
Pakar kesehatan hewan, Tri Satya Putri Naipospos, menduga wabah PMK pada hewan ternak yang terjadi di Indonesia imbas dari peningkatan kasus penyakit tersebut yang terjadi beberapa negara kawasan Asia Tenggara.
“Serotipe O, khususnya lineage Ind2001e merupakan yang dominan dalam beberapa tahun terakhir,” kata Tri Satya dalam keterangannya yang diterima Jakarta, Rabu (25/5).
Menurut dokumen Report of the 24th SEACFMD National Coordinators Meeting tahun 2021 pada Website OIE Sub-Regional Representative for Southeast Asia, menampilkan informasi kasus kejadian PMK yang disebabkan oleh virus O/ME-SA/Ind-2001 pertama kalinya di negara Kamboja, setelah sebelumnya juga ditemukan di hampir semua negara tertular PMK di Asia Tenggara.
Tri Satya menjelaskan peningkatan situasi PMK di Asia Tenggara ini banyak dilaporkan pada ternak sapi, sedangkan pada ternak lainnya relatif kecil. Berbagai permasalahan yang dihadapi dalam pengendalian PMK adalah adanya lalu lintas ilegal ternak antar wilayah dan negara, rendahnya implementasi biosekuriti pada peternakan rakyat, kurangnya sumberdaya manusia, serta dukungan logistik dan anggaran untuk vaksinasi yang tidak memadai.
“Kondisi ini meningkatkan risiko kejadian kasus dan penyebaran PMK antar wilayah,” kata dia.
Menurut Tri Satya, peningkatan kasus di kawasan Asia Tenggara sebagai salah satu faktor yang berkontribusi terhadap kemungkinan masuknya PMK ke Indonesia. Serotipe yang sama antara virus PMK di Indonesia dengan yang dominan di Asia Tenggara menunjukan bahwa sumber virus dari kawasan tersebut. Introduksi virus, kata dia, bisa melalui berbagai cara, akan tetapi risiko paling tinggi adalah dari lalu lintas ilegal.
Dia berharap agar hasil analisis genetik molekuler yang dapat membuktikan sumber virus PMK yang masuk ke Indonesia dapat segera tersedia sehingga menjawab berbagai spekulasi terkait sumber virus PMK yang saat ini terjadi di Indonesia. Tri Satya juga berharap agar Indonesia mulai mempersiapkan diri untuk segera memiliki program pengendalian resmi PMK yang diakui Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) dan menerapkan pengendalian dan pemberantasan PMK secara bertahap atau disebut Progressive Control Pathway (PCP).
“Perlu diterapkan PCP untuk PMK, agar secara bertahap kita bisa kendalikan dan pada akhirnya memberantas PMK di Indonesia," kata dia.
Berdasarkan data dari OIE, penyakit mulut dan kuku (PMK) di Asia Tenggara mengalami kecenderungan peningkatan pada periode 2020-2022. Hal tersebut tidak terlepas juga dari kontribusi adanya pandemi COVID-19 yang mengakibatkan terjadinya pembatasan kegiatan termasuk berkurangnya sumber daya untuk pengendalian dan penanggulangan PMK.
Berdasarkan Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan 2021, Jawa Timur merupakan provinsi dengan populasi ternak sapi terbanyak nasional. Populasi sapi potong di Jawa Timur tercatat sebanyak 4,94 juta ekor atau 27,36% dari total populasi sapi potong nasional.