Industri Alkes Domestik Digempur Pemain Asing, Impor Capai Rp 40 T
Industri alat kesehatan atau alkes Indonesia menghadapi tantangan besar karena terus digempor banyak produk impor. Jumlah izin produk alkes lokal bahkan kalah jauh dibandingkan dengan izin impor produk-produk di sektor tersebut.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Alat Kesehatan Indonesia (ASPAKI), Cristina Sandjaja, mengatakan bisnis di sektor kesehatan menjadi primadona selama masa pandemi Covid-19 serta era pasca pandemi.
"Namun faktanya, para pelaku alkes domestik tidak semudah itu meraup cuan besar. Alat medis seperti masker, hand sanitizer, alat tes PCR pun masih banyak didatangan dari luar negeri," ujarnya dalam siaran pers, Rabu (6/10). Cristina berbicara dalam diskusi yang digelar Master Program Universitas Prasetiya Mulya bertemakan Outreach the Promising Future of Healthcare Industry.
Dia mengatakan, produsen yang memproduksi alkes di dalam negeri hanya 727 pabrik, dengan 4.265 distributor alat kesehatan. Sementara izin produk lokal baru mencapai 11.734, jauh lebih kecil dari 52.721 izin produk impor.
Alhasil, pasar alkes Indonesia tidak bisa berbuat banyak, hanya menguasai 0,7% dari pasar global, kalah jauh dari Amerika Serikat yang menguasai 38,2%, kemudian China yang menguasai 19,9%, hingga India 2,16%.
"Impor kita untuk alkes mencapai 40 triliun. Namun industri alkes bisa ekspor Rp 16 triliun, jadi defisit 23 triliun. Setelah adanya teguran Presiden, kini kita baru tersadar. Arahan Presiden tersebut menyadarkan banyak pihak untuk menggenjot produksi alkes dalam negeri," kata dia.
Direktur Prodia Diagnostic Line ini menilai ada harapan ketergantungan impor alkes Indonesia bisa berkurang. Apalagi masing-masing industri terus melakukan inovasi agar produknya bisa terasa bermanfaat bagi masyarakat luas.
Bahan baku farmasi masih impor
Data dari Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia (GPFI) mengungkapkan bahwa penguasaan investasi dari dalam negeri lebih besar. Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) menguasai 75% pasar farmasi Indonesia.
Sementara Penanaman Modal Asing (PMA) hanya menguasai 25% pasar farmasi Indonesia. Kondisi ini berbeda dengan negara lain seperti Filipina di mana PMDN berkisar di angka 25% sementara PMA mencapai 75%.
Meski investasi atau modal dari dalam negeri lebih kuat, lain halnya dengan sumber bahan baku. Untuk memproduksi obat di RI, pabrikan masih harus mencari sumber bahan baku dari negara lain, utamanya China.
"Farmasi dibuat di Indonesia tapi 95% bahan baku masih impor. Ketika pandemi, Cina dan India lockdown kita kesulitan, butuh perjuangan luar biasa. Saya juga datang sendiri ke sana untuk mencari Chloroquine, biasanya pengiriman India ke Indonesia cuma beberapa hari, kemarin harus melewati beberapa negara jadi lebih lama," kata Direktur Utama PT Dexa Medica Herry Sutanto.