Harga CPO September 2022 Merosot karena Dibayangi Ancaman Resesi
Badan Pusat Statistik mencatat penurunan beberapa harga komoditas ekspor Indonesia, seperti minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) dan bijih besi per September 2022 dibandingkan tahun lalu. Penurunan tersebut dinilai pengamat memiliki kaitan erat dengan ancaman resesi global.
Menurut data BPS, harga CPO mengalami penurunan 23,03 % dibandingkan periode yang sama tahun lalu (yoy). Dengan begitu, harga CPO per September 2022 berada di level US$ 909 per metrik ton, lebih rendah dari level sebelumnya US$ 1.181 per metrik ton.
Sedangkan harga bijih besi per September 2022 turun 19,85 % yoy, ke level US$ 99,8/dmtu. Di mana, untuk periode yang sama tahun lalu harga bijih besi masih di level US$ 124,5/dmtu.
Akibat beberapa faktor tersebut, surplus neraca dagang September 2022 menyusut menjadi US$ 4,99 miliar, lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya yakni US$ 5,7 miliar.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan tren penurunan surplus perdagangan terjadi akibat moderasi pada harga komoditas ekspor utama, terutama harga CPO di pasar internasional.
"CPO (harga) sangat terkait dengan ancaman resesi global yang menurunkan permintaan bahan baku, terutama untuk industri pengolahan," kata Bhima dalam pesan singkatnya kepada Katadata.co.id, Senin (17/10).
Sementara itu, BPS masih mencatatkan peningkatan harga batu bara per September 2022 sebanyak 120,11 % dibandingkan periode yang sama tahun lalu ke level US$ 321,5 metrik ton. Level tersebut juga meningkat 1,01 % dibandingkan Agustus 2022.
"Terkait batu bara meski krisis energi tengah berlangsung di zona Eropa, namun ancaman resesi membuat proyeksi kebutuhan batubara di tahun depan bisa menurun," ujar Bhima.
Bahkan, dia memprediksi price reversal atau pembalikan harga komoditas berpotensi menekan surplus perdagangan pada Oktober 2022. Di samping itu, penurunan aktivitas kargo di tingkat internasional turut menjadi sinyal ekonomi melambat.
Selanjutnya, Bhima juga menyebutkan adanya fenomena decoupling, di mana krisis energi yang membuat harga minyak mentah dan batu bara naik, belum tentu diikuti komoditas primer lainnya. Contohnya untuk CPO, di mana harga pasar spot mencatatkan penurunan hingga 22% dalam satu tahun terakhir, meskipun harga minyak mentah positif 7,2 %.
Dalam mengatasi permasalahan tersebut, Bhima mengatakan perlunya langkah-langkah mitigasi dengan peningkatan porsi ekspor produk industri pengolahan non-komoditas. Selain itu, perlunya mencari pasar alternatif yang cukup tahan terhadap ancaman resesi. Beberapa pasar tersebut seperti Vietnam, Filipina, Afrika Utara, dan Timur Tengah.
Upaya tersebut dinilai Bhima penting dilakukan, untuk mengurangi ketergantungan pada konsumsi migas, termasuk dengan percepatan transisi energi, serta memperbesar industri substitusi impor dalam negeri.
Di sisi lain, Deputi Bidang Statistik, Distribusi dan Jasa (BPS), Setianto menyampaikan masih ada komoditas yang mengalami peningkatan harga secara signifikan, di antaranya nikel yang naik 17,96 %, minyak mentah 21,18 %, batu bara 120,11 % dan gas alam mengalami peningkatan 51,88 %.
Meskipun begitu, nilai ekspor migas keseluruhan mengalami penurunan 21,41 % secara bulanan. Penurunan ini dikarenakan perubahan nilai ekspor untuk gas yang turun 22,06 %. Adapun ekspor gas secara volume juga mengalami penurunan 12,5 %.
Sementara itu, BPS juga melaporkan bahwa ekspor nonmigas September 2022 mengalami penurunan 10,31 % atau mencapai US$ 23,48 miliar dibandingkan Agustus 2022. Namun, angka tersebut cenderung mengalami kenaikan 19,26% jika dibandingkan ekspor nonmigas September 2021.
Berdasarkan sektornya, mayoritas mencatatkan penurunan secara bulanan. Ekspor migas turun 21,4 %, ekspor pertanian kehutanan dan perikanan sebesar 8,65 %, serta ekspor industri pengolahan turun 14,24 %. Sebaliknya, ekspor tambang dan lainnya masih mengalami pertumbuhan 2,61 % secara bulanan.