Tarif KRL Akan Naik, Pakar Transportasi: Warga Miskin Bisa Digratiskan
Kementerian Perhubungan berencana untuk membedakan harga tiket Kereta Rel Listrik atau KRL Jabodetabek bagi golongan orang kaya dan miskin. Hal itu menyebabkan harga tiket KRL Jabodetabek bagi warga mampu akan naik.
Pakar Transportasi dari Unika Soegijapranata, Djoko Setijowarno, mengatakan bahwa pembedaan tarif tiket KRL sebenarnya sudah dilakukan di moda transportasi daerah lain dan bisa berjalan.
"Trans Jateng dan Trans Semarang ada pembedaan tarif. Umum, pelajar, mahasiswa, buruh, lansia. Namun semuanya berjalan dengan lancar dan tidak bermasalah," ujar Djoko kepada Katadata.co.id, Selasa (3/1).
Dengan begitu, Djoko menilai bahwa adanya perbedaan tarif bagi golongan kaya dan miskin itu, maka besaran subsidi untuk KRL pun akan semakin berkurang. "Kalau besaran subsidinya berkurang, nantinya bisa dialihkan ke angkutan lainnya," ujarnya.
Tarif Gratis Bagi Warga Miskin
Sementara itu, Djoko menilai pengguna transportasi umum yang masuk ke golongan tidak mampu atau miskin, sebaiknya digratiskan. Dengan demikian, bisa menekan ongkos transportasi bagi warga tidak mampu.
Menurut Djoko, hasil survei Badan Penelitianan Pengembangan Kementerian Perhubungan atau Balitbang Kemenhub tahun 2013 menyatakan bahwa total ongkos transportasi pengguna KRL sebesar 32% dari pendapatan bulanan. Namun demikian, besarnya biaya tersebut bukan disebabkan oleh tarif KRL, melainkan ongkos transportasi lain dari dan menuju stasiun.
"Jadi jangan hanya fokus pada tarif KRL, bagaimana kita merancang biaya transportasi bisa kurang dari 10% dari pendapatan bulanan. Bagi yang tidak mampu bisa juga digratiskan, yang penting ongkos totalitas perjalan bisa ditekan 10%," ujarnya.
Dia berharap kedepannya pemerintah bisa menerapkan pemerataan subsidi angkutan transportasi umum se-Indonesia, dan subsidi tepat sasaran.
Menurut data yang dimilikinya, subsidi untuk KRL Jabodetabek saat ini sebesar Rp 1,5 triliun. Sedangkan subsidi untuk bus perintis hanya Rp 125 miliar bagi daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal)
Oleh sebab itu, menurut Djoko, besaran subsidi pada KRL sebanyak Rp 1,5 triliun itu, membuat tarif KRL Jabodetabek menjadi terjangkau dan lebih murah. Akan tetapi, jika dihitung secara ongkos total, para pengguna transportasi umum mengeluarkan biaya ongkos lebih besar saat menuju stasiun.
Berpotensi Tambah Polusi Jakarta
Sebelumnya, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau Walhi DKI Jakarta menilai wacana kenaikan tarif transportasi Commuter Line atau KRL dapat mendorong kenaikan beban polusi udara di Jakarta.
"Masyarakat dibuat berpikir ulang untuk menggunakan kendaraan umum karena tarifnya yang naik. Padahal, kendaraan pribadi menjadi salah satu sumber polusi terbesar di Jakarta," kata Pengkampanye Walhi Jakarta Muhammad Aminullah dalam keterangan yang dikutip dari Antara, Senin (2/1).
Aminullah memandang kenaikan tarif KRL bisa meluncurkan budaya enggan naik kendaraan umum khususnya KRL. Apalagi, polusi udara dan kemacetan lalu lintas di Jakarta saat ini masih menjadi masalah yang perlu diselesaikan oleh pemerintah.
Dia berpendapat bahwa pemerintah sebaiknya mencabut subsidi kendaraan listrik pribadi dibandingkan subsidi KRL bagi kalangan berpenghasilan tinggi. Menurutnya, subsidi kendaraan listrik nantinya dapat dialihkan pada peningkatan transportasi listrik yang bersifat massal.
Menurut data PT Kereta Commuter Indonesia (KCI), ada 1.081 perjalanan KRL Commuterline per hari pada periode Senin-Jumat di wilayah Jabodetabek. Ini jalur yang paling ramai, seperti tertera dalam grafik.