Petani Khawatir Harga Sawit Anjlok Imbas Pembekuan Sebagian Ekspor CPO
Petani sawit meminta perlindungan kepada pemerintah yang memutuskan untuk menaikkan domestic market obligation atau DMO sebesar 50% dan menahan sebagian ekspor minyak sawit mentah atau CPO sementara. Kebijakan tersebut dikhawatirkan berdampak negatif pada harga tandan buah segar atau TBS yang anjlok.
"Dengan situasi ini, petani sawit menjadi dag dig dug karena berpotensi negatif terhadap harga TBS sawit," kata Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia atau Apkasindo, Gulat Manurung, dalam keterangan tertulis, Kamis (9/2).
Oleh sebab itu, Gulat meminta agar pemerintah memberikan jaminan terhadap harga TBS petani. Dia meminta tidak semua beban DMO dan domestic price obligation (DPO) itu dibebankan ke hulu atau petani.
Kebijakan meningkatkan DMO 50% artinya menaikkan wajib pasok 300 ribu ton per bulan menjadi 450 ribu ton per bulan minyak goreng rakyat atau Minyakita. Untuk memenuhi kebijakan tersebut berarti dibutuhkan DMO CPO sebesar 625 ribu ton CPO per bulan.
“Kebijakan simalakama ini sesungguhnya tidak membuat perusahaan CPO dan Migor merugi, hanya berkurang atau tertunda keuntungannya. Selain itu pemerintah juga berkurang pemasukan dari ekspor,” ujarnya.
Petani Minta Kemudahan Dana BPDPKS
Selain itu, Gulat mengatakan, petani sawit juga berhadap diberi kemudahan meraih dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit atau BPDPKS, khususnya Price to Sales Ratio atau PSR dan sarana prasarana.
Melalui PSR, Gulat mengatakan, petani dapat meningkatkan produksi sampai tiga kali lipat. Peningkatan produksi ini diharapkan dapat menutupi kerugian petani jika harga TBS rendah.
“Saat ini rerata produksi TBS kami hanya Rp 800 - 1.200 kilogram/ha/bulan dengan produksi CPO per tahun hanya 2,7-3,2 to TBS per hektare atau per bulan dengan produksi CPO per tahu 6-8 ton CPO,” kata Gulat.
Gulat mengatakan, petani juga meminta pemerintah memberikan sertifikasi pada semua lahan petani sawit yang masih diklaim dalam kawasan hutan, khususnya yang sudah tertanam sebelum 2020. Menurut Gulat, hal ini sangat penting terkait kepastian usaha atau land ownership.
“Jika sudah ada kepastian usaha dan sertifikasi lahan, maka kami bisa menggunakan dana bank untuk lebih fokus ke Good Agricultural Practices atau GAP," ujarnya.
Imbas Minyakita Langka
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan melakukan rapat koordinasi untuk mengatasi kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng rakyat yang terjadi saat ini.
Dalam rapat tersebut, Luhut meminta Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan Indonesia National Single Window atau INSW untuk mendepositokan 66% hak ekspor CPO yang dimiliki eksportir saat ini. Dengan demikian, hak eskpor tersebut tidak dapat langusng digunakan saat ini.
Luhut mengatakan, pencairan deposito akan dilakukan secara bertahap sejak 1 Mei. Namun demikian, pencairan diberikan melihat kepatuhan perusahaan dalam memenuhi kewajiban Domestic Market obligation atau DMO. "
Akan diberikan ruang pencairan deposito lebih cepat bagi perusahaan yang harus memenuhi kontrak yang sudah ada, tetapi hak ekspor yang dimiliki tidak mencukupi meski telah memenuhi tambahan DMO," kata Luhut dalam keterangan tertulis, Senin (6/2).
Dia juga telah meminta Kementerian Perdagangan untuk memastikan peningkatan pasokan DMO oleh produsen minyak goreng sebanyak 50% hingga Lebaran nanti.
"Alokasi per perusahaan ditentukan berdasarkan rata-rata kinerja ekspor perusahaan selama Oktober-Desember 2022 secara proporsional dan kepatuhan masing-masing perusahaan terhadap pemenuhan DMO,” ungkap Menko Luhut.
Berdasarkan data United States Department of Agriculture, Indonesia adalah produsen minyak sawit terbesar di dunia. USDA memproyeksikan produksi CPO Indonesia bisa mencapai 45,5 juta metrik ton (MT) pada periode 2022/2023.