Indonesia Tak Akan Boikot Sawit ke Eropa Meski Ada Pengetatan Ekspor
Indonesia tidak akan menghentikan ekspor minyak sawit ke Uni Eropa meskipun ada pengetatan ekspor komoditas tersebut ke benua biru. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengatakan bahwa Indonesia dan Malaysia sepakat untuk melakukan pendekatan dan komunikasi dengan Uni Eropa untuk menghadapi hambatan tersebut.
"Tidak ada boikot-boikotan. Jadi kita tidak perlu merespons apa yang tidak ada," ujar Airlangga dalam Konferensi Pers setelah acara The Palm Oil Industrial Dialogue Between Indonesia and Malaysia di Jakarta, Kamis (9/2).
Airlangga mengatakan, akan melakukan sosialisasi, komunikasi, dan dialog terkait permasalahan tersebut. Dia menegaskan, pertemuan tersebut sama sekali tidak membahas aksi pemblokiran atau setop ekspor sawit ke Uni Eropa.
"Setop ekspor bukanlah hal yang dibahas," ujarnya.
Sebelumnya Deputi Perdana Menteri dan Menteri Perladangan dan Komoditas Malaysia Fadilah, sempat mengancam untuk mengehentikan ekspor sawit ke Uni Eropa. Dia menyatakan bahwa Indonesia dan Malaysia akan melawan langkah Uni Eropa.
"Atau pilihannya adalah kita hanya menghentikan ekspor ke Eropa, hanya fokus pada negara lain jika mereka mempersulit kita untuk mengekspor ke mereka," kata Fadillah kepada wartawan, dikutip dari Reuters, Sabtu (14/1).
Namun demikian, sikap tersebut akhirya melunak. Ditemui saat konferensi pers dengan Airlangga, Fadilah mengatakan banyak strategi yang telah dilakukan agar Uni Eropa memberikan kesempatan pada Indonesia dan Malaysia untuk melakukan ekspor sawit dan mencabut aturan antideforestasi.
Fadilah mengungkapkan bahwa ingin memberitahu kepada EU terkait apa yang sebenarnya terjadi di Indonesia dan Malaysia. Menurut dia, sawit sangat berdampak untuk membantu perekonomian para petani sawit dari kemiskinan.
"Saya ingin membawa suara para petani kecil untuk memberi tahu ke EU apa yang sebenarnya terjadi di Indonesia dan Malaysia, dimana sawit berdampak untuk membantu para petani sawit dari kemiskinan" ujarnya.
Sebelumnya, Uni Eropa telah menyepakati regulasi tentang rantai pasokan bebas deforestasi. Regulasi tersebut mewajibkan perusahaan lokal dan asing untuk menyediakan pernyataan uji kelayakan atau due diligence bahwa produknya tidak berkontribusi ke penggundulan dan degradasi hutan di mana pun setelah 31 Desember 2020.
“Peraturan baru yang penting ini akan melindungi hutan-hutan di dunia dan mencakup lebih banyak komoditas dan produk seperti karet, kertas cetak, dan arang,” kata Christophe Hansen, Anggota Parlemen Eropa, dalam siaran pers yang dirilis pada 6 Desember 2022.
Regulasi tersebut berlaku 20 hari sejak dirilis. Namun demikian, beberapa pasal akan berlaku 18 bulan setelahnya.
Aturan tersebut memicu kekhawatiran dari pemerintah dan industri terkait potensinya yang bisa menghambat perdagangan sejumlah komoditas, termasuk sawit. Peraturan antideforestasi UE menyasar kakao, kopi, minyak kelapa sawit, kedelai, ternak, kayu, karet, arang, dan kertas cetak. Begitu juga dengan produk-produk turunan dari komoditas-komoditas tersebut, seperti daging, kulit, mebel, dan cokelat.
Berdasarkan data United States Department of Agriculture (USDA), Indonesia dan Malaysia adalah produsen minyak sawit terbesar di dunia. USDA memproyeksikan produksi CPO Indonesia bisa mencapai 45,5 juta metrik ton (MT) pada periode 2022/2023, dan produksi CPO Malaysia 18,8 juta MT.