DPR Minta Pemerintah dan Smelter Nikel Setop Produksi dan Ekspor NPI
Komisi VII DPR mendorong pemerintah dan pengusaha smelter untuk menghentikan produksi dan ekspor olahan bijih nikel kadar tinggi 1,5-3%, yakni nickel pig iron atau NPI.
Komisi energi menilai komoditas olahan nikel kelas dua tersebut memiliki nilai tambah yang kecil sekaligus menggerus potensi cadangan bijih nikel saprolite yang ketahanannya hanya 10 tahun.
Anggota Komisi VII DPR, Bambang Patijaya, mengatakan bahwa kandungan nikel dari NPI hanya berada di kisaran 10% sampai 12%. Dia menganggap pendapatan negara yang dihasilkan dari ekspor NPI tak sebanding dengan status komoditas nikel sebagai mineral kritis.
"Seharusnya tidak boleh lagi produksi NPI di Indonesia, benar-benar harus ada satu niatan untuk hilirisasi lanjutan," kata Bambang dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Kementerian Perindustrian dan Kementerian ESDM pada Kamis (8/6).
Bambang juga mengeluhkan praktik pengusaha smelter dan eksportir NPI yang secara besar-besaran menjual komoditas tersebut ke luar negeri. Selain memperkecil potensi nilai tambah hilir bijih nikel, ekspor NPI dinilai sebagai praktik penyelundupan gaya baru.
Narasi tersebut berangkat dari pernyataan Bambang yang menyebut ada kandungan mineral kobalt dan mangan yang terselip di dalam komoditas NPI. Adapun cobalt dan mangan merupakan komposisi bahan baku baterai listrik. Sementara NPI merupakan bahan baku pembuatan baja tahan karat atau stainless steel.
"Sisa kobalt dan mangan pada produk NPI harus dihitung juga dong, jangan hanya bayar royalti NPI. Ini praktik penyelundupan gaya baru dan saya tidak bisa terima," ujar Bambang.
Di sisi lain, pemerintah kini berencana untuk membatasi pembangunan smelter nikel yang berteknologi Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) sembari terus berupaya menggaet investor global untuk masuk ke dalam proyek pembangunan smelter nikel berteknologi hidrometalurgi High Pressure Acid Leach Leaching (HPAL) di dalam negeri.
Upaya penarikan investor tersebut dilakukan seiring langkah pemerintah yang ingin mengubah arah pengolahan bijih nikel limonite kadar rendah 0,8%-1,5% untuk produksi komoditas lanjutan mixed hydroxide precipitate (MHP) dan Mix Sulphide Precipitate (MSP).
Produk ini merupakan bahan baku produksi nikel sulfat atau kobalt sulfat yang menjadi bahan baku komponen baterai. Langkah tersebut juga dinilai menjadi jalan tengah untuk menutup kekosongan produksi lanjutan bijih nikel domestik nantinya.
Alasannya, pemerintah berencana untuk menyetop investasi pada pengadaan smelter nikel berteknologi RKEF karena produksi NPI dan feronikel domestik yang berlebih. Kelebihan produk olahan bijih nikel kadar tinggi 1,5%-3% itu belakangan menyebabkan harganya makin tertekan.
Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE) Kementerian Perindustrian, Taufik Bawazier mengatakan kebutuhan nikel kadar rendah untuk bahan baku baterai kendaraan listrik akan naik berkala tiap tahun.
Kemenperin memproyeksikan kebutuhan bijih nikel limonite kadar rendah 0,8-1,5% pada 2025 mencapai 25.133 ton. Kebutuhan tersebut naik menjadi 37.699 ton pada 2030 dan 59.506 ton pada 2035.
"Kalau kami dari kacamata perindustrian memang harus lebih tinggi lagi nilai tambahnya. Cuma kan memang harus ada investasi dulu yang masuk ke sana," kata Taufik di Gedung Nusantara I DPR Jakarta pada Kamis (8/6).
Pembatasan pembangunan smelter nikel RKEF ditujukan untuk menjaga pasokan bijih nikel untuk suplai bahan baku produk lanjutan yang lebih hilir, seperti prekursor, katoda, hingga baterai. Moratorium penyediaan smelter RKEF dinilai penting untuk menambah alokasi suplai bijih nikel untuk smelter HPAL.
Hal ini juga dilakukan untuk menutup potensi impor bijih nikel untuk bahan baku baterai kendaraan listrik. "Makanya menurut saya pribadi, moratorium smelter RKEF investasinya dari hulu harus diarahkan sembari bergeser ke sektor hilir," ujar Taufik.