Pemerintah Buat Tim Kajian untuk Ekspor Pasir Laut
Pemerintah membentuk tim kajian mengenai ekspor pasir laut. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut masih masih belum berjalan menunggu tim kajian.
Tim kajian tersebut terdiri dari unsur pemerintah, akademisi dan lembaga terkait. Di antaranya KKP, Kementerian Perhubungan, Kementerian ESDM, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Tim Kajian juga harus diisi oleh perwakilan dari Pemerintah Daerah (Pemda), lembaga hidrografi dan oseanografi, dan perguruan tinggi. Ketetapan tersebut merupakan ketetapan yang tertulis di Pasal 5 PP Nomor 26 Tahun 2003.
Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian kelautan dan Perikanan, Inspektur Jenderal Polisi (Irjen Pol) Victor Gustaaf Manoppo, mengatakan Tim Kajian itu nantinya akan menelurkan dokumen perencanaan yang mengatur lokasi pengerukan, jenis mineral hingga volume pasir yang diangkut dari dasar laut.
Dokumen tersebut berfungsi menjadi acuan dalam kegiatan eksploitasi pasir laut hingga komersialisasi ekspor. Dia menyatakan pengadaan Tim Kajian merupakan upaya pemerintah untuk mencegah kerusakan lingkungan laut.
"Tim Kajian baru akan dibentuk setelah permen. PP 26 ini tidak akan berjalan apabila permennya belum ada," kata Victor di Gedung Nusantara II DPR Jakarta pada Senin (12/6).
Victor tak memberikan rincian detil soal penyelesaian pembentukan regulasi turunan mengenai eksploitasi pasir laut. "Harapannya secepatnya," ujar Victor.
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menyampaikan bahwa pemerintah perlu mengatur pengerukan pasir laut secara progresif agar pengadaan material reklamasi tidak bersumber dari kegiatan pengerukan ilegal.
Lebih lanjut, kata Trenggono, regulasi mengenai pengelolaan hasil sedimentasi laut ditujukan untuk menghentikan aktivitas ilegal penambangan pasir laut untuk proyek reklamasi di dalam negeri.
Trenggono mengatakan penetapan PP Nomor 26 Tahun 2003 digunakan untuk menutup potensi praktik pengerukan pasir ilegal menyusul masifnya pengerjaan proyek reklamasi di sejumlah daerah. Di antaranya di pesisir perairan Banten, Jakarta, Jawa Timur, Kepulauan Riau hingga penambahan daratan di wilayah Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, Kalimantan Timur.
"Ada keluhan dari mitra kerja di Banten banyak sekali reklamasi, itu dari mana bahannya? Ini yang pemerintah coba atur. Bahan reklamasi harus dari sedimentasi supaya tidak merusak lingkungan," kata Trenggono, pada kesempatan yang sama.
Trenggono juga membantah wacana penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di laut sebagai instrumen untuk menggaet investasi Singapura di IKN Kalimantan Timur melalui ekspor pasir laut. “PP itu mengatur ekspor apabila kebutuhan dalam negeri sudah terpenuhi," ujar Trenggono.
Persoalan izin pengelolaan pasir laut ramai diperbincangkan setelah pemerintah kembali membuka keran ekspor setelah 20 tahun dihentikan. Aturan itu disetop pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri sejak 2003 melalui Surat Keputusan (SK) Menperindag No 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut.
Terbitnya PP Nomor 26 tahun 2023 itu sekaligus mencabut SK Menperindag No 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut. Pasal 10 PP 26 mengatur bahwa pelaku usaha yang ingin melakukan ekspor wajib memiliki izin pemanfaatan pasir laut.
Dengan aturan yang baru, penjualan pasir laut hanya bisa dilakukan setelah mendapatkan izin usaha pertambangan untuk penjualan dari Menteri ESDM. Sedangkan pelaku usaha yang mengajukan permohonan izin harus bergerak di bidang pembersihan dan pemanfaatan hasil sedimentasi di laut.