Relasi Singapura - Indonesia dalam Sejarah Ekspor Pasir Laut
Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali membuka peluang ekspor pasir laut melalui penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
Regulasi anyar itu sekaligus mencabut aturan larangan ekspor pasir laut sejak dua dekade lalu lewat instrumen Surat Keputusan (SK) Menteri Perindustrian dan Perdagangan atau Menperindag Nomor 117 Tahun 2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut yang diteken oleh Megawati Soekarnoputri.
Ketika itu Megawati menghentikan ekspor pasir laut untuk menghentikan kerusakan lingkungan, mencegah kaburnya batas maritim, serta menghentikan kerusakan pulau-pulau kecil. Larangan ini kemudian memang memunculkan permasalahan, termasuk adanya beragam aksi pengiriman pasir secara ilegal.
SK Menperindag Nomor 117 Tahun 2003 merupakan penebalan regulasi dari Surat Keputusan Bersama antara Menperindag, Menteri Kelautan dan Perikanan dan Menteri Negara Lingkungan Hidup Tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut yang ditetapkan pada 14 Februari 2022.
Merujuk pada Pasal 1 SKB tiga menteri tersebut, definisi pasir laut merupakan semua jenis pasir yang berasal dan ditambang dari laut dengan kode HS 2505.90.000. "Ekspor pasir laut dihentikan sementara dari seluruh wilayah negara Republik Indonesia," tulis Pasal 2 SKB itu.
Adapun HS 2505.90.000 mengacu kepada komoditas berupa pasir alam dari segala jenis, diwarnai maupun tidak, tidak termasuk pasir silika, pasir kuarsa, pasir mengandung emas dan platinum, zirkon, pasir rutil dan ilmenit, pasir monasit, dan pasir ter atau aspal.
Ekspor Pasir Laut Berlanjut Meski Sudah Dilarang
Merujuk pada histori penjualan ekspor pasir laut Indonesia dari trademap.org, volume ekspor komoditas HS 2505.90.000 pada 2003 masih menyentuh angka 3,8 juta ton dengan nilai transaksi US$ 9,6 juta. Mayoritas pengiriman pasir laut ditujukan ke Singapura dengan besaran mencapai 3,6 juta ton atau senilai US$ 8,8 juta.
Praktik ekspor pasir laut pada tahun tersebut masih terus berjalan meski pemerintah saat itu telah merilis dua regulasi larangan penjualan ke luar negeri.
Data trademap.org juga menunjukkan volume ekspor pasir laut Indonesia pada 2004 hingga 2007 secara berturut-turut berada di kisaran 3 juta ton. Singapura lagi-lagi menjadi importir terbesar dengan volume pembelian 2,8 juta ton pada 2004 dengan nilai US$ 5,5 juta.
Besaran tersebut naik menjadi 3,1 juta ton pada 2005 dengan nilai transaksi US$ 5,9 juta. Lebih lanjut, Singapura melanjutkan pembelian pasir laut RI sebanyak 3,2 juta ton pada 2006 senilai US$ 6,4 juta dan 379.718 ton atau setara US$ 716 ribu pada 2007.
Volume ekspor pasir laut baru RI secara signifikan menurun pada 2008 dan 2009, dengan masing-masing 102 ton dan 82 ton dan baru benar-benar berhenti pada 2010 hingga 2022.
Selain Singapura, negara-negara Asia seperti Malaysia dan Cina juga menjadi pembeli pasir laut Indonesia. Penjualan tertinggi ke Cina terjadi pada 2003 dengan volume 129.700 ton atau senilai US$ 454.000. Sementara penjualan paling besar ke Malaysia terjadi pada 2005 dengan pengiriman 116.311 ton dan nilai penjualan US$ 222.000.
Butuh Aturan Tambahan, Cegah Kerusakan Lingkungan
Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), Sakti Wahyu Trenggono, mengatakan bahwa pemerintah perlu mengatur pengerukan pasir laut secara progresif agar pengadaan material reklamasi nantinya tidak bersumber dari kegiatan pengerukan ilegal.
Dia melanjutkan, pemerintah kini banyak mengerjakan proyek reklamasi di sejumlah daerah. Di antaranya reklamasi di pesisir perairan Banten, Jakarta, Jawa Timur, Kepulauan Riau hingga penambahan daratan di wilayah Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, Kalimantan Timur.
Trenggono juga mengatakan bahwa ada daerah yang mengajukan pengerukan pada wilayah sedimentasi laut. Satu diantaranya yakni Pemerintah Daerah (Pemda) Nanggroe Aceh Darussalam.
"Ada keluhan dari mitra kerja di Banten banyak sekali reklamasi, itu dari mana bahannya? Ini yang pemerintah coba atur. Bahan reklamasi harus dari sedimentasi supaya tidak merusak lingkungan," kata Trenggono di Gedung Nusantara II DPR Jakarta pada Senin (12/6).
Pada kesempatan tersebut, dia juga membantah wacana ihwal penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di laut sebagai instrumen untuk menggaet investasi Singapura di IKN Kalimantan Timur melalui ekspor pasir laut.
"Tidak ada ke arah sana. PP itu mengatur ekspor apabila kebutuhan dalam negeri sudah terpenuhi," ujar Trenggono.
Di sisi lain, Anggota Komisi VI DPR RI Luluk Nur Hamidah meminta pemerintah mengkaji ulang PP Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Menurutnya, langkah membuka ekspor pasir laut dari hasil sedimentasi laut dikhawatirkan merupakan upaya melegalisasi untuk membawa pasir laut ke luar negeri.
Luluk pun kembali meminta pemerintah mencabut PP Nomor 26 Tahun 2023. Sebab aturan yang membuka kembali izin ekspor pasir laut dinilai lebih banyak mudharatnya, ketimbang manfaatnya.
"Kita dulu gagal mencegah kebocoran penyelundupan pasir laut yang melibatkan oknum aparat dan penguasa, dan tidak ada jaminan kita tidak mengulang kembali jika peluang ini dibuka," kata Luluk dalam siaran pers, dikutip pada Selasa (13/6).
Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia Afdillah mengatakan penerbitan PP Nomor 26 Tahun 2023 yang menurutnya mengizinkan kembali pengerukan, penghisapan, dan ekspor pasir laut akan menghancurkan ekosistem laut.
Selain itu, ujar Afdillah, aktivitas pengerukan pasir laut juga akan memicu percepatan tenggelamnya pulau-pulau kecil di sekitar wilayah yang ditambang karena mengubah kontur dasar laut yang berpengaruh pada pola arus dan gelombang laut.
"Ditambah lagi kerugian yang akan dialami masyarakat pesisir sebagai kelompok yang akan terdampak langsung dari perubahan ekologis akibat tambang pasir laut,” ujar Afdillah.