Revisi Aturan, Mendag Larang Shopee hingga Tiktok Shop Jadi Produsen

Nadya Zahira
28 Juli 2023, 14:55
Warga menggunakan perangkat elektronik untuk berbelanja online di salah satu situs belanja online di Depok, Jawa Barat, Rabu (29/4/2020). Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak dalam waktu dekat bakal memungut pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10 persen a
ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/foc.
Warga menggunakan perangkat elektronik untuk berbelanja online di salah satu situs belanja online di Depok, Jawa Barat, Rabu (29/4/2020). Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak dalam waktu dekat bakal memungut pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10 persen atas perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE).

Kementerian Perdagangan atau Kemendag telah menyelesaikan revisi Peraturan Menteri Perdagangan atau Permendag No.50/2020 tentang perdagangan melalui sistem elektronik atau PMSE.  Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengatakan saat ini Permendag tersebut dalam tahap harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM dan ditargetkan rampung pada 1 Agustus 2023.

Pria yang akrab disapa Zulhas tersebut mengatakan jika perumusan revisi Permendag tersebut sudah lama rampung di Kementerian Perdagangan. Namun aturan tersebut membutuhkan harmonisasi dengan kementerian lain.

Namanya Permendag itu kan harus diharmonisasi antar kementerian, kita cepat, tapi yang lain lamban, pelan gitu ya,” kata Zulhas saat peresmian Bursa Kripto di Jakarta, Jumat (28/7).

Zulhas mengatakan, ada tiga poin yang dia ubah dalam revisi Kemendag tersebut yaitu:

1. Marketplace dan platform digital baik impor maupun lokal harus memiliki izin dan pajak yang sama.

Zulhas mengatakan, semua barang impor yang diperdagangkan di lokapasar atau marketplace akan dikenakan pajak layaknya barang lokal.  “Pajak barang impor sama dengan lokal. kalau jualan kan ada pajaknya. Jangan sampai nanti yang platform digital nggak bayar pajak. Matilah kita,” kata dia. 

2. Marketplace tidak boleh menjadi produsen

Zulhas mengatakan, market place dilarang memproduksi barang yang akan dijual di platformnya. Hal itu untuk menciptakan persaingan pasar yang sehat.

“Contohnya TikTok, bikin sepatu merek TikTok nggak boleh. Jadi tidak diborong semua sama satu platform,” ujarnya.

3. Penetapan batas minimal US$ 100 per unit barang yang diperdagangkan di lokapasar atau marketplace oleh pedagang luar negeri.

Menurut Zulhas, hal itu perlu dilakukan untuk melindungi barang-barang UMKM yang dijual di marketplace dari banjirnya produk impor murah. 

“Saya juga minta untuk melindungi UMKM kita. Barang yang dijual itu juga ada harganya, masa kecap harus impor? UMKM saja bikin sambal bisa. Maka saya usulkan harganya minimal US$ 100,” tuturnya. 

Namun demikian, Zulhas tidak merinci barang impor apa saja yang diwajibkan seharga minimal US$ 100 yang diperdagangkan di lokapasar atau marketplace oleh pedagang luar negeri.

Ancam UMKM Lokal

Sebelumnya, Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki meminta Kemendag untuk segera mengeluarkan revisi Permendag No.50/2020 tentang perdagangan melalui sistem elektronik atau PMSE. Teten mengatakan, e-commerce tak bisa membedakan produk lokal atau impor yang dijual di platformnya

“Ketika saya mau buat kebijakan subsidi untuk UMKM di platform online saat pandemi Covid-19, semua pelaku usaha tidak bisa memisahkan mana produk UMKM dan yang impor. Mereka hanya bisa memastikan bahwa yang berjualan adalah UMKM dan mereka tidak bisa pastikan produknya. Jadi jangan bohongi saya,” kata Teten di Kantor Kemenkop UKM, di Jakarta, Rabu (12/7). 

Untuk itu, Ia mendesak Kementerian Perdagangan atau Kemendag agar merevisi Permendag Nomor 50/2020 yang saat ini baru mengatur perdagangan di e-commerce, bukan social commerce. Ia mengaku revisi aturan tersebut sudah diwacanakan sejak tahun lalu, namun hingga kini masih belum terbit.

“Itu bukan hanya untuk TikTok, untuk seluruh e-commerce lintas-batas alias cross border commerce. Jadi jangan kemudian saya dianggap anti-TikTok, bukan. Saya hanya mau melindungi produk UMKM supaya ada playing field yang sama dengan produk dari luar, jangan kemudian mereka diberi kemudahan,” ujar Teten

Pengguna TikTok di seluruh dunia bertambah 12,6% dibandingkan pada tahun sebelumnya (year-on-year/yoy). Jika dibandingkan kuartal sebelumnya, aplikasi besutan Bytedance ini naik 3,9% (quarter-to-quarter/qtq).

Berdasarkan negaranya, pengguna TikTok paling banyak masih berasal dari Amerika Serikat. Terdapat 116,49 juta pengguna TikTok yang berasal dari Negeri Paman Sam pada April 2023.

Adapun Indonesia juga kukuh di peringkat kedua dengan jumlah pengguna TikTok terbanyak dunia yaitu mencapai 112,97 juta pengguna. Jumlah tersebut hanya selisih 3,52 juta pengguna dari jumlah pengguna TikTok di AS.

Reporter: Nadya Zahira

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...