Kemenperin Kaji Insentif Tambahan untuk Mobil Hybrid
Kementerian Perindustrian atau Kemenperin tengah mengkaji pemberian tambahan insentif hybrid electric vehicle (HEV) di luar PPnBM 6%. Insentif akan semakin besar jika emisi karbon yang dikeluarkan HEV lebih rendah.
Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika Kemenperin, Taufiek Bawazier, mengatakan HEV dapat mengurangi emisi secara signifikan. Bahkan saat ini, ada model HEV dengan emisi mencapai 75 gram/kilometer atau km.
Oleh sebab itu, dia mengatakan, Kemenperin menjajaki pemberian insentif kepada mobil hybrid. Namun, basisnya bukan pajak, melainkan emisi karbon yang dikeluarkan. Ini akan menjadi tambahan insentif mobil hybrid selain PPnBM 6% sesuai PP 74 Tahun 2021 dan aturan ini akan dirilis secepatnya.
Taufiek mengakui bahwa penjualan HEV saat ini lebih tinggi dibandingkan battery electric vehicle atau BEV. Mobil bebasis baterai tersebut lebh disukai karena masyarakat tidak perlu mengkhawatirkan pengecasan baterai saat membawa HEV menempuh jarak jauh.
“Jika memakai BEV, konsumen harus memperhitungkan daya baterai dan infrastruktur pengisian di tengah perjalanan,” ujar Taufiek dalam diskusi bertajuk Otomotif Ujung Tombak Dekarbonisasi Indonesia di Gedung Kementerian Perindustrian, Jakarta, Selasa (8/8)
Pengamat otomotif LPEM Universitas Indonesia, Riyanto, mengatakan HEV lebih diminati masyarakat dibandingkan BEV.
"Saat ini memang menjual satu BEV lebih sulit ketimbang dua HEV. Oleh sebab itu, penjualan HEV perlu didorong, lantaran emisi dua mobil jenis ini sama seperti satu BEV," ujar Riyanto.
Untuk itu, Riyanto mendorong agar HEV bisa juga segera mendapatkan insentif sama seperti BEV. Adapun saat ini, pemerintah baru memberikan insentif berupa pembebasan Pajak Kendaraan Bermotor atau PKB dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor untuk BEV.
“Saat ini BEV sudah mendapatkan insentif BBN dan PKB. Saya kira ini bisa dipertimbangkan juga ke hybrid, karena bisa mengurangi emisi sampai 50%. Jadi mobil hybrid layak mendapatkan tambahan insentif,” ujar Riyanto.
Dia menilai bahwa mobil hybrid pas digunakan di era transisi menuju netralitas karbon pada 2060. Hal tersebut lantaran saat ini harga BEV masih terbilang mahal yakni berkisar Rp 600-700 juta. Sehingga peminatnya sedikit dan pasarnya sangat tipis.
“Memang ada BEV di bawah Rp 300 juta. Akan tetapi, mobil ini bukan untuk pembeli pertama, melainkan pembeli kedua dan ketiga,” kata dia.
Riyanto memprediksi, total penjualan mobil elektrifikasi (xEV), terdiri atas HEV, Plug-in Hybrid Electric Vehicle (PHEV), dan BEV mencapai 182 ribu unit atau setara 14,8% pasar dengan berbagai macam insentif fiskal pemerintah. Dari jumlah tersebut, porsi terbesar adalah HEV sebanyak 104 ribu unit, PHEV 327 unit, sedangkan BEV hanya 77 ribu unit.
Sementara untuk penjualan mobil elekrifikasi mencapai 591 ribu unit, terdiri atas HEV 387 ribu unit, BEV 202 ribu unit, dengan porsi pasar 31,8%. "Artinya, jumlah itu masih jauh di bawah target pemerintah," kata dia.
Berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), pada Juni 2023 volume penjualan wholesale mobil tipe hybrid electric vehicle (HEV) di pasar domestik mencapai 4.718 unit.
Angka itu tumbuh 43,7% dibanding Mei 2023 (month-on-month/mom), melesat 2.136% dibanding Juni 2022 (year-on-year/yoy), sekaligus menjadi rekor tertinggi baru seperti terlihat pada grafik.