Banyak Pabrikan Rem Produksi, Impor Barang Modal dan Bahan Baku Turun
Impor bahan baku/penolong dan barang modal kompak turun pada Agustus 2023. Kondisi tersebut dinilai mengindikasikan adanya penurunan utilitas produksi yang bisa berdampak pada pemutusan hubungan kerja atau PHK.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, mengatakan utilitas industri saat ini sedang turun. Hal itu terutama terjadi pada industri yang menggunakan bahan baku impor namun memproduksi barang ekspor seperti tekstil.
"Benar, industri sedang rem produksi, utilitasnya turun dari 70-80 persen saat normal, sekarang mungkin 60 persen," ujarnya kepada Katadata.co.id, Senin (18/9).
Dia mengatakan, pertumbuhan volume perdagangan dunia melambat dari tahun lalu 2,7% menjadi 1,7% saat ini. Kondisi tersebut menyebabkan perusahaan berorientasi eskpor tidak bisa menahan lebih lama barang produksi di gudangnya. Mereka pun terpaksa menurunkan kapasitas produksinya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, impor bahan baku/penolong dan impor barang modal sama sama turun pada Agustus 2023. Impor bahan baku/penolong turun 4,13 persen secara bulanan, atau turun 20, 39 persen secara tahunan.
Sementara impor barang modal turun 4,55 persen secara bulanan, atau turun 3,97 persen secara tahunan. Secara keseluruhan, impor Agustus 2023 turun 3,53 persen secara bulanan, atau turun 14,77 persen secara tahunan.
Waspada PHK
Tauhid mencontohkan sejumlah industri yang terdampak perlambatan perdagangan tersebut adalah tekstil, kayu, dan juga sebagian farmasi.
Menurut dia, kondisi tersebut diperkirakan berlangsung hingga akhir tahun. Berdasarkan perkiraan WTO dan IMF, perdagangan dunia baru mulai membaik tahun depan.
Dia mengatakan, penurunan utilitas produksi tersebut membuat sebagian perusahaan berpotensi melakukan efisiensi tenaga kerja. Menurut dia, kebijakan PHK tersebut sudah dilakukan awal tahun.
"Biasanya dimulai dengan tidak memperpanjang pekerja kontrak, tapi saat ini intensitasnya bisa lebih tinggi," ujarnya.
Sementara itu, Kepala Centre of Macroeconomics and Finance Indef, Rizal Taufikurrahman mengatakan industri mengerem produksinya dipicu oleh daya beli yang kurang agresif. Di sisi lain, harga bahan baku impor semakin tinggi karena gejolak serta keuangan serta depresiasi rupiah terhadap dolar AS.
"Pada akhirnya hal itu akan mempengaruhi biaya produksi," kata Rizal.
Dia mengatakan, kinerja industri tersebut akan kembali kompetitif secara bertahap jika daya beli masyarakat membaik. Hal itu dipicu pendapatan masyarakat global yang semakin membaik.