Industri Tekstil Jabar Terancam Setop Produksi dan PHK Ribuan Buruh

Tia Dwitiani Komalasari
25 September 2023, 13:12
Pekerja menyelesaikan pemintalan benang di pabrik pembuatan sarung di Majalaya, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Senin (9/11/2020). Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Provinsi Jawa Barat mencatat, sebanyak 19.089 pekerja dari 460 perusahaan tekstil tela
ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/hp.
Pekerja menyelesaikan pemintalan benang di pabrik pembuatan sarung di Majalaya, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Senin (9/11/2020). Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Provinsi Jawa Barat mencatat, sebanyak 19.089 pekerja dari 460 perusahaan tekstil telah terkena PHK sedangkan yang dirumahkan mencapai 80.138 pekerja dari 983 perusahaan.

Para pelaku usaha dan industri tekstil di Jawa Barat terancam berhenti berproduksi imbas praktik predatory pricing di platform social commerce. Hal itu menyebabkan ribuan buruh terancam kena pemutusan hubungan kerja atau PHK.

Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki, mengatakan praktik predatory pricing tersebut mulai dirasakan khususnya oleh para pelaku usaha tekstil yang mengalami turunnya permintaan. Akibat praktik tersebut, omzet pelaku tekstil turun dan bahkan berlanjut ke PHK bagi pegawai UMKM.

Misalnya saja di Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Teten mengatakan, penurunan produksi di kawasan tekstil tersebut terus terjadi setelah lebaran sehingga pabrik tak mampu lagi berproduksi.

"Kami bersama para pelaku industri pakaian jadi dan tekstil membahas tentang hal ini dan memang ada penurunan yang cukup drastis karena pelaku UMKM yang memproduksi pakaian muslim, kerudung, pakaian jadi yang dijual di pasar grosir seperti Tanah Abang, ITC Kebon Kelapa, Pasar Andir terpantau anjlok. Akibatnya permintaan terhadap pakaian, kain, dan tekstil menurun drastis," ujat Menteri Teten dalam kunjungan ke beberapa pabrik tekstil sekaligus berdiskusi dengan para pelaku usaha tekstil di Majalaya, Bandung, Minggu (24/9).

Teten mengatakan, produk UKM tersebut kalah bersaing bukan karena kualitas, tetapi soal harga jual di pasar e-commerce atau social commerce yang jauh lebih murah. Harga murah tersebut biasanya berasal dari impor.

"Saya mendapat informasi ada indikasi marak impor pakaian jadi maupun produk tekstil yang tak terkendali. Harga yang murah ini adalah predatory pricing di platform online, memukul pedagang offline dan dari sektor produksi konveksi juga industri tekstil dibanjiri produk dari luar yang sangat murah," kata Teten.

Menurut Teten, hal itu terjadi juga karena didorong adanya aturan safeguard yang tidak berjalan dengan semestinya. Untuk itu, Pemerintah berupaya untuk membenahi dan berkoordinasi dengan Mensesneg untuk langkah ke depan.

"Sebab sekali lagi, kewenangan ini ada di Kementerian Perdagangan dan Kementerian Keuangan. Presiden Jokowi sudah menyampaikan akan meninjau kembali perdagangan online, yang dalam waktu dekat akan dibahas. Itu termasuk yang sudah kita usulkan Permendag Nomor 50 Tahun 2020 kan sudah selesai tinggal ditetapkan saja," kata Teten.

Tak hanya itu, Teten juga merasa perlu ada HPP khusus di produk tekstil. Hal tersebut sudah berlaku di Cina di mana model barang yang masuk ke negara tersebut tidak boleh di bawah HPP.

"Kalau kita terapkan itu, bisa melindungi industri dalam negeri," kata Teten.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...