Industri Tekstil Jabar Terancam Setop Produksi dan PHK Ribuan Buruh
Para pelaku usaha dan industri tekstil di Jawa Barat terancam berhenti berproduksi imbas praktik predatory pricing di platform social commerce. Hal itu menyebabkan ribuan buruh terancam kena pemutusan hubungan kerja atau PHK.
Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki, mengatakan praktik predatory pricing tersebut mulai dirasakan khususnya oleh para pelaku usaha tekstil yang mengalami turunnya permintaan. Akibat praktik tersebut, omzet pelaku tekstil turun dan bahkan berlanjut ke PHK bagi pegawai UMKM.
Misalnya saja di Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Teten mengatakan, penurunan produksi di kawasan tekstil tersebut terus terjadi setelah lebaran sehingga pabrik tak mampu lagi berproduksi.
"Kami bersama para pelaku industri pakaian jadi dan tekstil membahas tentang hal ini dan memang ada penurunan yang cukup drastis karena pelaku UMKM yang memproduksi pakaian muslim, kerudung, pakaian jadi yang dijual di pasar grosir seperti Tanah Abang, ITC Kebon Kelapa, Pasar Andir terpantau anjlok. Akibatnya permintaan terhadap pakaian, kain, dan tekstil menurun drastis," ujat Menteri Teten dalam kunjungan ke beberapa pabrik tekstil sekaligus berdiskusi dengan para pelaku usaha tekstil di Majalaya, Bandung, Minggu (24/9).
Teten mengatakan, produk UKM tersebut kalah bersaing bukan karena kualitas, tetapi soal harga jual di pasar e-commerce atau social commerce yang jauh lebih murah. Harga murah tersebut biasanya berasal dari impor.
"Saya mendapat informasi ada indikasi marak impor pakaian jadi maupun produk tekstil yang tak terkendali. Harga yang murah ini adalah predatory pricing di platform online, memukul pedagang offline dan dari sektor produksi konveksi juga industri tekstil dibanjiri produk dari luar yang sangat murah," kata Teten.
Menurut Teten, hal itu terjadi juga karena didorong adanya aturan safeguard yang tidak berjalan dengan semestinya. Untuk itu, Pemerintah berupaya untuk membenahi dan berkoordinasi dengan Mensesneg untuk langkah ke depan.
"Sebab sekali lagi, kewenangan ini ada di Kementerian Perdagangan dan Kementerian Keuangan. Presiden Jokowi sudah menyampaikan akan meninjau kembali perdagangan online, yang dalam waktu dekat akan dibahas. Itu termasuk yang sudah kita usulkan Permendag Nomor 50 Tahun 2020 kan sudah selesai tinggal ditetapkan saja," kata Teten.
Tak hanya itu, Teten juga merasa perlu ada HPP khusus di produk tekstil. Hal tersebut sudah berlaku di Cina di mana model barang yang masuk ke negara tersebut tidak boleh di bawah HPP.
"Kalau kita terapkan itu, bisa melindungi industri dalam negeri," kata Teten.
Penurunan Produksi dan PHK
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Jemmy Kartiwa Sastraatmaja, mengatakan saat ini perdagangan global memang sedang tidak baik-baik saja. Cina sebagai produsen manufaktur terbesar sedang mencari pasar baru karena banyak barangnya tidak terserap negara-negara besar seperti di Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa.
Kondisi itu menyebabkan Cina mencari pasar baru yang perbatasan perdagangannya lemah. Di sisi lain Indonesia merupakan negara dengan populasi terbesar nomor empat dunia.
"GDP kita masih lebih baik dan inflasi Indonesia cukup terkontrol dibanding negara lain. Tak heran Indonesia dibidik menjadi salah satu pangsa pasar. Jika tidak pintar-pintar memasang trade barrier, ekosistem ini akan hancur berimbas ke hulu," katanya.
Selanjutnya Ketua Umum IPKB Nandi Herdiaman menambahkan, adanya serangan impor yang harganya di bawah pasar, mendorong rendahnya permintaan termasuk yang terjadi di Tanah Abang, Jakarta Pusat. "Imbasnya terjadi penurunan produksi bukan cuma 1 atau 2 pabrik, bahkan ribuan. Ditambah dampak pengangguran bahkan hingga jutaan," ucapnya.
Pemilik PT Santosa, Kurnia Jaya Dudi Gumilar, mengatakan UMKM tekstil sudah memproduksi barang sesuai dengan permintaan pasar,. Namun, produksi tersebut menumpuk karena marak barang impor.
"Kami kesulitan menjual hampir 1,5 juta meter bahan menumpuk di pabrik sementara produksi masih berjalan. Kami juga tidak tahu sampai kapan masih bisa produksi, mohon bantuan untuk perlindungan pasar kami," kata Kurnia.
Kepala Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Jabar, Rachmat Taufik, menambahkan angkatan kerja di Jabar mencapai 24 juta orang, sebesar 70 persennya bukan dari pekerja formal. Menurut dia, ancaman PHK makin meningkat akibat banyak kapasitas pabrik menurun.
"PHK secara resmi kecil, tetapi dari data BPJS Ketenagakerjaan yang mengambil JHT artinya yang tak bekerja lagi mencapai lebih dari 150 ribu orang," kata Rachmat.