3 Penyebab Indonesia Jadi Sasaran Empuk Impor Tekstil Ilegal Asal Cina
Indonesia banjir tekstil impor ilegal yang diduga berasal dari Cina. Hal itu menyebabkan usaha kecil menengah atau UKM menjadi tertekan sehingga omzetnya turun dan gulung tikar.
Ketua Umum Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia, Redma Wirawasta, menduga nilai impor tekstil ilegal pada 2022 mencapai US$ 2,94 miliar atau sekitar Rp 43 triliun. Angka tersebut ditemukan Redma saat membandingkan pencatatan perdagangan tekstil Indonesia-Cina di International Trade Center atau ITC.
Redma mencatat nilai ekspor tekstil Cina ke Indonesia mencapai US$ 6,5 miliar pada 2022 berdasarkan General Custom Administration of China. Pada tahun yang sama, Badan Pusat Statistik mendata nilai tekstil impor dari Cina hanya US$ 3,55 miliar.
“Jika diasumsikan impor per kontainer senilai Rp 1,5 milyar maka diperkirakan sekitar 28.480 kontainer TPT ilegal masuk pertahun, atau sekitar 2.370 kontainer ilegal perbulan” kata Redma dalam keterangan resmi, Jumat (15/9).
Redma mendata nilai konsumsi tekstil dan produk tekstil nasional pada tahun lalu mencapai US$ 16 miliar. Artinya, tekstil impor ilegal berkontribusi hingga 41% dari pasar TPT nasional.
Dia juga menghitung seluruh tekstil impor sepanjang 2022 setara dengan 800.000 ton atau sekitar 45% dari kapasitas produksi Industri Kecil dan Menengah garmen berorientasi domestik. Dengan kata lain, Redma menilai seluruh produk impor tersebut setara dengan hilangnya penyerapan tenaga kerja di dalam negeri hingga 2,4 juta orang.
Apa penyebab Indonesia menjadi sasaran empuk impor ilegal Cina?
1. Ekonomi global tengah merosot
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Jemmy Kartiwa Sastraatmaja, mengatakan, saat ini perdagangan global memang sedang tidak baik-baik saja. Permintaan global dari Amerika Serikat dan Uni Eropa sedang turun, termasuk tekstil.
Hal itu menyebabkan negara produsen tekstil besar seperti Cina mencari pasar baru untuk menyalurkan penjualannya.
2. Indonesia Pasar yang Potensial
Sementara itu, Jemmy mengatakan, Indonesia merupakan pasar yang potensial dengan populasi terbesar nomor empat dunia. Di tengah perlambatan global, Indonesia memiliki pertumbuhan ekonomi dan inflasi yang terkontrol dibandingkan negara lain.
"Tak heran Indonesia dibidik menjadi salah satu pangsa pasar," ujarnya.
Berdasarkan data BPS, pertumbuhan ekonomi Indonesia semester I 2023 mencapai 5,17 persen dengan inflasi yang terkendali sebesar 1,24 persen.
3. Aturan Pembatasan Perdagangan Belum Diterapkan dengan Baik
Jemmy mengatakan, pemerintah Indonesia harus menerapkan batasan perdagangan agar barang-barang impor membanjiri Indonesia. Saat ini, barang impor banyak yang masuk melalui perdagangan daring atau e-commerce dan social commerce.
"Jika tidak pintar-pintar memasang trade barrier, ekosistem ini akan hancur berimbas ke hulu," katanya.
Menanggapi hal itu, Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki mengakui harus ada perbaikan regulasi untuk melindungi industri tekstil dalam negeri dari gempuran produk-produk impor.
Dirinya mendapatkan informasi dari para pelaku usaha bahwa regulasi yang ada kini, masih belum bisa membendung serbuan barang impor hingga memukul telak industri dalam negeri baik tingkat pengecer sampai produsen, termasuk pada sektor tekstil.
"Safeguard (tindak pengamanan) kurang efektif. Safeguard untuk pakaian Rp 25 ribu untuk satu potong, tapi dijual secara online bisa di bawah Rp25 ribu," ujarnya.
Pemerintah kemudian mengeluarkan aturan mengeluarkan revisi Permendag no.50 tahun 2020 Selasa hari ini (26/9). Revisi Permendag tersebut akan mengatur perdagangan online secara lebih rinci, termasuk social commerce.