Pengusaha Ajukan Judicial Review Aturan Pajak Hiburan 40% ke MK
Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) berencana mengajukan judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah ke Mahkamah Konstitusi. Judicial review akan diajukan atas pasal 58 ayat 2 yang mengatur pajak hiburan sebesar 40%-75%.
Dalam pasal 58 ayat 2 UU HKPD disebutkan bahwa tarif pajak barang dan jasa tertentu atau PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40% dan paling tinggi 75%.
"Kami melalui gabungan industri pariwisata, induk asosiasi pariwisata, akan melakukan judicial review ke MK terkait pasal 58 ayat 2," ujar Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia atau PHRI Maulana Yusran kepada Katadata.co.id, Selasa (18/1).
Ia mengakatan, pihaknya bersama GIPI tengah mengumpulkan materi untuk mengajukan juducial review ke MK. Pengajuan judical review diharapkan dapat dilakukan pada bulan ini.
Yusran menjelaskan, pihaknya ingin agar ayat 2 pasal 58 yang mengatur pajak hiburan minimal 40% untuk usaha-usaha tertentu dihapuskan. Menurutnya, ini tak sesuai dengan ayat sebelumnya yang menetapkan bahwa PBJT paling tinggi dikenakan sebesar 10%.
Ia menilai pengenaan pajak atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa 40%-75% tidak adil. Menurut dia, pajak tinggi biasanya diberlakukan pemerintah untuk mengurangi konsumsi atau membantasi usaha di sektor tertentu.
Menurut dia, banyak anggapan negatif terhadap sejumlah bidang usaha seperti karaoke dan spa. Padahal, menurut dia, tak semuanya pelaku usaha di bidang tersebut menjalankan bisnis yang tak sesuai kaidah masyarakat.
"Tujuan pajak tinggi kan membatasi konsumsi. Jadi seolah ini kan dianggap berisiko. Kalau memang begitu, pemeritah kan sebenarnya sebagai regulator, punya kewenangan mencabut izin usaha. Jangan lalu dipukul rata dengan pajak," ujarnya.
Ia mengatakan, pajak yang tinggi akan dibebankan kepada konsumen. Hal ini akan membebani penjualan di bidang-bidang usaha yang dikenakan pajak tinggi tersebut. Padahal, menurut dia, industri hiburan belum sepenuhnya pulih.
"Industri hiburan ini saling menopang sektor pariwisata. Pariwisata belum sepenuhnya pulih dari pandemi. Contohnya jumlah wisman tahun 2019 mencapai 16 juta, sedangkan tahun lalu baru mencapai 10 juta," katanya.
Selain itu, menurut Yusran, industri hiburan yang akan dikenakan pajak tinggi tersebut selama ini menyerap karyawan dalam jumlah besar dan tak menuntut keahlian yang tinggi. Jika industri ini terdampak, maka dapat mempengaruhi penyerapan tenaga kerja.