Bea Masuk Hingga 200% Dinilai Tak Efektif Bantu Sektor Retail
Himpunan Peretail dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia atau Hippindo menyatakan penambahan bea masuk akan jadi langkah kontraproduktif. Sebab, kebijakan tersebut hanya memperketat impor legal, sedangkan masalah utama industri retail nasional adalah impor ilegal.
Sekretaris Jenderal Hippindo Haryanto Pratantara mengatakan penambahan bea masuk diproyeksi justru meningkatkan volume impor ilegal ke dalam negeri. Oleh karena itu, Haryanto menilai langkah terbaik dalam menyelamatkan industri ritel nasional adalah penegakan hukum.
"Apakah pengenaan Bea Masuk Tindakan Perlindungan mengurangi ilegal impor? Tidak. Jadi, tidak ada gunanya penambahan BMTP," kata Haryanto dalam konferensi pers, Jumat (5/7).
Haryanto mengatakan peritel dengan produk impor legal tidak bisa bersaing dengan produk impor ilegal. Sebab, perbedaan harga kedua produk tersebut sangat tinggi, yakni lebih dari empat kali lipat.
Haryanto mencontohkan harga baju anak dengan impor legal dijual oleh PT Hindo atau H&M Rp 150.000 per potong. Sementara itu, harga baju anak hasil impor ilegal yang ditemukan di Pasar Tanah Abang hanya Rp 35.000 per potong.
Haryanto menjelaskan tingginya baju anak impor legal disebabkan oleh biaya kepatuhan beberapa aturan pemerintah, seperti sertifikasi Standar Nasional Indonesia, pemasangan label Bahasa Indonesia, dan membayar pajak. Sementara itu, baju anak impor ilegal melangkahi semua aturan tersebut.
Kondisi impor produk ilegal diperburuk dengan maraknya produk impor ilegal di dalam negeri akibat Peraturan Menteri Perdagangan No. 8 Tahun 2024. Haryanto menilai beleid tersebut membuat lebih dari 26.000 kontainer yang berisi produk impor ilegal kini diperdagangkan di dalam negeri.
Untuk diketahui, sebanyak 26.415 kontainer tertahan di pelabuhan akibat Permendag No. 36 Tahun 2023 pada Mei-Juni 2024. Kementerian Perdagangan komoditas dalam kontainer tersebut adalah besi dan baja, tekstil dan produk tekstil, elektronika, dan kosmetik.
"Barang impor ilegal itu sebaiknya disita, toko yang menjual ditutup, lalu diproses secara hukum. Langkah itu bisa dengan sangat signifikan mengurangi volume impor ilegal," katanya.
Haryanto menilai permasalahan industri ritel nasional disebabkan oleh pengaturan seluruh jenis barang impor menjadi satu aturan. Menurutnya, hal tersebut keliru lantaran ada tiga jenis barang impor, yakni bahan baku, barang modal, dan barang jadi.
Badan Pusat Statistik mendata impor bahan baku berkontribusi hingga 70% dari total nilai impor setiap tahunnya. Sementara itu, kontribusi barang modal impor sebesar 20% dan barang jadi hanya 10%.
Haryanto menilai Permendag No. 8 Tahun 2024 kini mengganggu arus impor bahan baku yang berkontribusi hanay 10% dari total nilai impor per tahun. Namun Haryanto menekankan barang impor barang jadi merupakan bagian dari industri ritel yang berkontribusi hingga 52% dari perekonomian nasional.
"Jadi, industri retail ini harus diperhatikan agar bisa hidup dengan baik dan menyerap lapangan kerja. Hal tersebut hanya bisa terjadi jika peritel yang mengimpor secara legal berjalan baik," ujarnya.