Ekspor Pasir Laut Diproyeksi Hanya Datangkan Penerimaan Negara Rp 73 M
Kementerian Perdagangan menerbitkan dua regulasi yang melegalkan ekspor pasir laut. Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda memperkirakan potensi penerimaan negara dari kebijakan tersebut hanya mencapai Rp 74 miliar, sedangkan kerugiannya secara ekonomi lebih besar.
Menurut Nailul, pembukaan keran ekspor pasir laut berpotensi mendatangkan keuntungan bagi pengusaha mencapai Rp 733 miliar tahun. Namun, potensi penerimaan negaranya kecil.
Sementara dari sisi ekologis, menurut dia, kerusakan yang dapat terjadi mencakup erosi pantai, perubahan garis pantai, kerusakan kualitas air, serta rusaknya ekosistem laut, termasuk terumbu karang.
Ia pun menekankan, keuntungan dari ekspor pasir laut ini tidak sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkan oleh penambangan pasir laut. “Dari kerusakan ini akan terjadi penurunan hasil tangkapan nelayan yang menyebabkan pendapatan mereka berkurang. Bahkan bisa menyebabkan nelayan menjadi pengangguran,” kata Nailul saat dihubungi Katadata.co.id pada Rabu (18/9).
Presiden Joko Widodo sebelumnya menekankan, ketentuan ekspor mencakup komoditas sedimen laut yang berbeda dengan pasir laut secara umum. Sedimen laut yang dimaksud adalah material yang mengganggu jalur kapal. Pengerukan terhadap sedimen laut bertujuan untuk mengatasi masalah navigasi.
"Sekali lagi, bukan pasir laut. Kalau diterjemahkan sebagai pasir itu beda loh ya. Sedimen itu berbeda, meskipun wujudnya juga pasir. Tapi ini sedimen," kata Jokowi kepada wartawan usai meresmikan Kawasan Indonesia Islamic Financial Center di Menara Danareksa, Jakarta pada Selasa (17/9).
Pengamat Kemaritiman dari IKAL Strategic Centre, Marcellus Hakeng Jayawibawa mengatakan, sedimen merupakan material yang terakumulasi di dasar laut, yang terdiri dari berbagai partikel, termasuk pasir. Marcellus mengatakan, sedimen ini mencakup pasir laut, tetapi juga bisa terdiri dari lumpur, kerikil, dan material lainnya.
“Meskipun istilahnya berbeda, dalam konteks pengambilan dari dasar laut, keduanya seringkali melibatkan proses yang serupa,” kata Marcellus saat dihubungi Katadata.co.id pada Rabu (18/9).
Marcellus menyampaikan, pengangkatan sedimen dalam jumlah besar dapat menyebabkan kerusakan ekosistem pesisir. Dampak lingkungan yang mungkin terjadi termasuk perubahan topografi dasar laut, erosi pantai, dan degradasi habitat penting seperti terumbu karang dan padang lamun.
“Hal ini dapat mengganggu keseimbangan ekologi dan mengancam kehidupan laut, yang pada akhirnya mempengaruhi populasi ikan dan kesejahteraan nelayan,” ujarnya.
Marcellus mengatakan, pengambilan sedimen yang berlebihan juga dapat mempercepat erosi garis pantai, mengancam permukiman dan infrastruktur pesisir, serta menimbulkan biaya rehabilitasi yang tinggi.
Merujuk pada lampiran Permendag Nomor 21/2024, jenis pasir laut yang boleh diekspor adalah semua jenis pasir yang berasal dan ditambang dari laut dengan kode HS ex 2505.90.000 dan ex 2505.10.00.
Dua barang berkode HS itu merujuk pada pasir alam yang berasal dari pembersihan hasil sedimentasi di laut dengan pasir yang dimaksud memiliki ukuran butiran yang berada dalam rentang 0,25 millimeter (mm) hingga 2,0 mm.
Selain itu, terdapat prasyarat lain seperti presentase kandungan kerang (shells) atau kalsium karbonat (CaCO3) dalam pasir tersebut tidak boleh lebih dari 15%. Kandungan emas (Au) harus kurang dari atau sama dengan 0,05 part per million (ppm), kandungan perak (Ag) juga harus kurang dari atau sama dengan 0,05 ppm, serta kandungan logam-logam seperti platina, palladium, rhodium, rutenium, iridium, dan osmium harus masing-masing kurang dari atau sama dengan 0,05 ppm.
Sedimen laut yang dapat diekspor harus memiliki ketentuan atau standar lainnya seperti kandungan silika (SiO2) dalam pasir harus kurang dari atau sama dengan 95%, Kandungan timah (Sn) harus kurang dari atau sama dengan 50 ppm, Kandungan nikel (Ni) harus kurang dari atau sama dengan 35 ppm, dan total kandungan logam tanah jarang harus kurang dari atau sama dengan 100 ppm.