Kebijakan Kemasan Rokok Polos, Indef: Ekonomi RI Bisa Rugi Rp 182,2 T

Sorta Tobing
23 September 2024, 17:04
rokok, kemasan rokok polos, indef
ANTARA FOTO/Andry Denisah/Spt.
Pedagang menunjukkan rokok dagangannya di Kendari, Sulawesi Tenggara, Minggu (22/9/2024). Kementerian Kesehatan merumuskan kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek dalam Rencana Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang dianggap berdampak bagi ekonomi nasional dari industri hasil tembakau serta meningkatkan potensi peredaran rokok ilegal.
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyebut sejumlah dampak negatif yang bakal terjadi apabila pemerintah jadi menerapkan kemasan rokok polos tanpa merek. Nilai kerugiannya diperkirakan mencapai Rp 182,2 triliun.

Dampak ekonomi tersebut bukan hanya bagi industri rokok, tapi juga industri kemasan kertas, tembakau, cengkeh, dan lainnya. Selain itu, kehadiran kemasan rokok polos akan mendorong downtrading hingga peralihan ke rokok ilegal.

Downtrading merupakan fenomena ketika konsumen beralih ke produk yang lebih murah. "Ini berpotensi menurunkan permintaan produk legal hingga 42,09%," kata Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad dalam diskusi Industri Tembakau Suram, Penerimaan Negara Muram, Senin (23/9). 

Implikasi dari kebijakan kemasan polos dapat mengurangi penerimaan negara hingga Rp 95,6 triliun. Penuruan ini terjadi karena aturan tersebut membuat tidak ada perbedaan antara satu merek denga yang lainnya. Yang menonjol hanya gambar peringatan bahaya rokok. 

Rokok ilegal berpeluang mendapat peningkatan permintaan dua hingga tiga kali lipat karena kemasannya serupa dengan rokok legal. "Bagi konsumen, yang dilihat hanya soal harga sehingga implikasinya persaingan akan semakin ketat. Ini juga memunculkan downtrading secara normal 2%-5%," ucapnya.

Tauhid menyebut, aturan kemasan rokok polos dengan skenario permintaan produk legal menurun 42,09% memberi dampak terhadap 1,22 juta pekerja di seluruh sektor, bukan hanya industri hasil tembakau atau IHT. 

Sebelumnya, Negosiator Perdagangan Ahli Madya Kementerian Perdagangan Angga Handia Putra, mengatakan pihaknya belum dilibatkan dalam perumusan kebijakan kemasan rokok polos. Aturan ini tercantum dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan, yang merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan.

Kementerian Perdagangan kini memberikan perhatian khusus terhadap aturan baru tersebut. Sebab, kemasan rokok polos akan berdampak terhadap hak pengusaha, pedagangan, dan perdagangan internasional. 

Ia juga berpendapat, perlu studi ilmiah lebih jauh dalam hal penurunan prevalensi perokok melalui kebijakan kemasan tanpa merek, dengan mengacu Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau atau FCTC. "Indonesia belum meratifikasi aturan global tersebut," ujar Angga pada pekan lalu, dikutip dari Antara

Ketua Umum Asosiasi Pasar Seluruh Rakyat Indonesia (Aparsi) Suhendro menyebut kemasan rokok polos akan menyulitkan konsumen dalam membedakan rokok legal dan ilegal. Perubahan ini juga dapat merugikan konsumen yang loyal pada merek-merek tertentu. 

Efektivitas kebijakan kemasan polos dan zonasi larangan penjualan tembakau yang tercantum dalam PP Nomor 28 Tahun 2024 perlu kajian lebih lanjut. Masyarakat, menurut dia, perlu edukasi tentang perbedaan rokok legal dan ilegal, bukan sekadar menerapkan kebijakan yang membingungkan. 

Reporter: Antara

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...