Peta Jalan Hilirisasi: Indonesia akan Kembangkan Bioavtur dari Kelapa
Pemerintah telah menyusun peta jalan hilirisasi di industri kelapa dalam rencana pembangunan jangka panjang nasional 2025-2045. Kementerian PPN/Bappenas, menjelaskan hilirisasi kelapa memiliki tujuh arah diversifikasi, antara lain untuk bahan baku bahan bakar pesawat ramah lingkungan atau bioavtur.
Staf Ahli Menteri PPN Bidang Pembangunan Sektor Unggulan dan Infrastruktur Leonardo A. A. Teguh Sambodo mengatakan, inisiatif bioavtur ini datang dari investor Jepang. Jepang telah memiliki teknologi untuk mengolah kelapa menjadi Bioavtur.
“Inisiatornya Indonesia Japan Business Network (IJBNet) yang sudah dapat mitra dari Jepang yang memproduksi Bioavtur. IJBNet saat ini sedang mempersiapkan pembangunan pabrik crude coconut oil (CNO) di Banyuasin, Sumatera Selatan,” kata Teguh saat dihubungi pada Jumat (27/9).
Namun, dia menyebut saat ini belum ada nama perusahaan yang diputuskan untuk mengembangkan Bioavtur di Indonesia. Adapun produksi bioavtur di Indonesia baru bisa terlaksana apabila pabrik CNO telah terbangun.
Menurut Teguh, pengembangan Bioavtur dipilih sebagai salah satu diversifikasi produk hilirisasi karena kelapa telah mendapatkan persetujuan atau serifikasi dari lembaga internasional. “Kelapa ini bisa digunakan dan aman. Ini menjadi salah satu keunggulan dibandingkan kelapa sawit yang belum mendapatkan sertifikasi. Jadi hal ini perlu untuk dimanfaatkan,” ujarnya.
Pabrik CNO ini nantinya akan mengolah kelapa-kelapa yang tidak memenuhi standar pangan. “Sehingga kelapa-kelapa kualitas akhir yang selama ini dibuang bisa dimanfaatkan,” ucapnya.
Hilirisasi Kelapa
Teguh mengatakan hilirisasi kelapa didorong oleh hadirnya Undang-Undang Nomor 59 Tahun 2024 tentang rencana pembangunan jangka panjang nasional 2025-2045. Indonesia akan menjadikan hilirisasi sebagai motor penggerak industri pengolahan yang bahan bakunya disediakan dari dalam negeri.
"Kelapa dipilih karena sebelum 2020 Indonesia menjadi penghasil kelapa terbesar di dunia secara volume dan hasil. Namun sejak pandemi ternyata kita disalip Filipina,” kata Teguh.
Teguh menyebut, luasan lahan kelapa Filipina saat ini menjadi yang terbesar di dunia, mencapai 3,7 juta hektare (ha). Sementara Indonesia hanya mencapai 3,3 juta ha.
Tidak hanya produksi dan volume, Indonesia juga kalah dari Filipina dari segi pengekspor kelapa dan turunannya. Menurut Teguh, kondisi ini menjadi pengingat bagi pemerintah bahwa kinerja Indonesia di sektor kelapa sudah dilampaui oleh Filipina. Karena itu, menurutnya, perlu konsolidasi dari pemerintah untuk menghadapi tantangan di sektor kelapa.
Menurut dia, industri kelapa nasional menghadapi masalah produktivitas yang stagnan di angka 1,1 ton per ha dan pola budidaya kelapa juga masih konvensional. Sebanyak 378 ribu ha tanaman juga sudah tua dan perlu diganti.
“Namun untuk bisa mengganti itu ternyata kapasitas produksi benih kita baru satu juta benih, batang bertahun. Potensinya kalau semuanya memproduksi itu bisa 9 juta, tapi ternyata kebutuhannya 41 juta. Jadi jauh sekali ya, antara kemampuan dan produksi benih,” ujarnya.
Teguh menyebut, kemampuan pemerintah saat ini belum bisa membantu penggantian tanaman seluas 378 ribu ha. Ia menyebut butuh waktu 38 tahun jika pemerintah ingin mengganti seluruh tanaman kelapa yang sudah tua.
“Sehingga kita perlu ada percepatan. Hal ini juga dipicu oleh permintaan yang tinggi dari Amerika, Eropa, dan Cina dengan permintaan susu kelapanya cukup tinggi,” ucapnya.