Boeing dan Airbus Lakukan PHK, Ada Apa dengan Industri Penerbangan Global?
Dua raksasa produsen pesawat komersial, Boeing dan Airbus, bergiliran melakukan pemutusan hubungan kerja atau PHK karyawan. Kondisi keuangan yang menurun menjadi alasan di balik pemecatan tersebut.
Pekan lalu, Boeing, asal Amerika Serikat, mengumumkan akan melakukan PHK 17 ribu orang atau 10% dari total karyawannya. Perusahaan sudah merugi sejak 2019 dengan total US$ 25 miliar atau setara Rp 375 triliun (dengan asumsi kurs Rp 15 ribu per dolar AS).
Perusahaan kini mendapat tekanan dari regulator AS setelah serangkaian kelalaian keselamatan yang parah dan fatal dalam beberapa tahun terakhir. Sekitar 33 ribu pekerjanya juga sedang melakukan mogok kerja terkait gaji dan kondisi pekerjaan.
Beberapa hari kemudian, Airbus memutuskan akan memangkas 2.500 pekerjanya di divisi pertahanan dan antariksa. Perusahaan asal Eropa tersebut mengatakan, ada berbagai tantangan dalam bisnis saat ini, termasuk gangguan rantai pasokan, perubahan cepat akibat peperangan yang mempengaruhi rute penerbangan, dan kendala anggaran.
Melansir Investing.com, Airbus dan Boeing melakukan penundaan pengiriman pesawat terus-menerus. Kepala Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA) Willie Walsh mengungkapkan rasa frustasinya dan menyebut situasi ini dapat berlanjut bertahun-tahun dan tidak akan membaik.
Keterlambatan pengiriman pesawat telah menyebabkan ketegangan bagi maskapai besar di berbagai negara. Ryanair, salah satu maskapai terkemuka di Benua Biru, mengumumkan harus menurunkan perkiraan jumlah penumpang pada tahun depan karena lambatnya pengiriman pesawat. Kemunduran pengiriman juga mempengaruhi persaingan rute antarmaskapai.
Dampak ke Indonesia
Direktur Utama PT Garuda Indonesia Tbk Irfan Setiaputra mengatakan hal tersebut tidak berdampak pada kondisi maupun rencana bisnis perseroan. "Sampai saat ini, PHK Airbus dan Boeing tidak ada berdampak sebab kami belum ada rencana penambahan armada," katanya kepada Katadata.co.id, Kamis (17/10).
Berdasarkan laman resmi GIAA, Garuda memiliki 47 pesawat Boeing dan 22 pesawat Airbus. Secara rinci, perusahaan mengoperasikan 39 unit Boeing 737-800NG, delapan Boeing 777-300ER, 16 unit Airbus A330-300, tiga unit Airbus A330-200, dan tiga Airbus A330-900neo.
Dengan kata lain, mayoritas armada Garuda adalah pesawat berbadan kecil atau narrow body sejumlah 39 unit. Armada berbadan lebar atau wide-body yang umumnya untuk perjalanan jarak jauh adalah 30 unit. "Kami belum berencana menambah jumlah armada pesawat wide-body," kata Irfan.
Pengamat Penerbangan Alvin Lie mengatakan efisiensi tenaga kerja yang dilakukan Boeing dan Airbus tidak memiliki dampak ke industri penerbangan nasional. Sebab, maskapai lokal sudah tidak mempertimbangkan pembelian pesawat dari kedua perusahaan itu.
Pesawat yang kini ditawarkan Airbus ke maskapai lokal adalah A220. Menurut Alvin, pesawat tersebut tidak diminati lantaran waktu penggunaan mesinnya yang terbilang pendek dan biaya perawatan yang mahal.
Untuk Boeing, minat maskapai terhadap produk perusahaan tersebut cukup rendah. Hal ini terlihat dari tidak adanya maskapai lokal yang memesan edisi B777 terbaru atau B777X. Selain itu, penumpang pesawat terbang nasional masih trauma untuk menggunakan B737 Max akibat kecelakaan Lion Air JT-610 pada 2018.
Karena itu, Alvin mencatat beberapa maskapai lokal mulai mempertimbangkan memesan pesawat dari Brasil dan Cina. Secara rinci, pesawat yang dimaksud adalah Embraer dari Brasil dan Comac dari Cina.
"Pesawat yang dipertimbangkan adalah Embraer E190 dan Comac C919. Namun kedua pesawat tersebut baru siap antara dua sampai tiga tahun lagi," ujarnya.