Pemerintah Tetap Izinkan Sritex Lakukan Ekspor-Impor Meski Dinyatakan Pailit
Pemerintah masih membuka izin ekspor impor kepada perusahaan tekstil PT Sri Rejeki Isman atau Sritex yang sebelumnya telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri Niaga Semarang pada Senin, 21 Oktober 2024. Keputusan tersebut merupakan hasil rapat terbatas antara Presiden Prabowo Subianto dan sejumlah menteri Kabinet Merah Putih di Istana Merdeka Jakarta pada Selasa (29/10).
Rapat internal yang dihadiri oleh Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli itu membahas soal kelanjutan nasib Sritex. Airlangga mengatakan rapat tersebut menyepakati rekomendasi agar Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea dan Cukai Kementerian Keuangan terus memberikan izin ekspor-impor kepada Sritex.
Ketetapan tersebut juga merupakan hasil dengar pendapat dari empat kurator swasta yang ikut dalam rapat internal tersebut. Menurut Airlangga, keputusan itu merupakan solusi sementara agar aktivitas usaha Sritex dapat terus berjalan.
"Dengan masih berproduksi, tenaga kerja masih bisa bekerja," kata Airlangga saat ditemui seusai rapat.
Dia menyebut langkah ini menjadi jalan tengah yang cenderung lebih baik, mengingat saat ini Sritex tak dapat mengambil fasilitas kredit perbankan karena situasi perusahaan pailit. Di sisi lain, pemerintah pun belum memikirkan opsi penyaluran modal negara kepada Sritex untuk membantu aktivitas produksi.
"Kalau perusahaan dipailitkan, itu potensi berhenti perizinannya, tetapi kami sudah bertemu dengan kurator dan Ditjen Bea Cukai. Maka ini akan terus berjalan," ujar Airlangga.
Selama 58 tahun, Sritex telah menjadi bagian dari industri tekstil di Indonesia. Sebagai perusahaan tekstil terbesar di Asia Tenggara, Sritex telah berkontribusi bagi Solo Raya, Jawa Tengah, dan Indonesia.
Manajemen Sritex mengatakan saat ini sekitar 14.112 karyawan terdampak langsung, bersama 50.000 karyawan dalam Grup Sritex. Selain itu, banyak usaha kecil dan menengah lainnya yang keberlangsungannya bergantung pada aktivitas bisnis Sritex.
Sritex memiliki deretan utang kepada sejumlah bank. Beban tanggungan Sritex per 31 Maret 2024 sejumlah US$ 1,6 miliar atau sekira Rp 25,17 triliun yang di dalamnya terdapat sejumlah utang bank.
Laporan kinerja perusahaan pada kuartal pertama 2024 menunjukan, Sritex memiliki deretan utang jangka panjang dengan total US$ 848,25 juta atau sekira setara Rp 13,27 triliun. Dalam pos ini, Sritex mencatatkan utang paling banyak kepada PT Bank Central Asia (BCA) senilai US$ 71,98 juta, atau sekira Rp 1,12 triliun.
Utang terbesar kedua kepada State Bank of India, Singapore Branch senilai US$ 43,88 juta atau Rp 686,65 juta. Sritex juga memiliki utang kepada bank pembangunan daerah seperti PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten sejumlah US$ 34.46 juta, PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah senilai US$ 25,07 juta dan Bank DKI senilai US$ 9,45 juta.