Asosiasi: Ada 2 Pabrik Tekstil Senasib Sritex Gara-gara Banjir Impor Ilegal Cina
Asosiasi Pertekstilan Indonesia atau AP menyebut, setidaknya ada dua perusahaan garmen di Jawa Barat dan Jawa Tengah yang bernasib sama seperti PT Sri Rejeki Isman atau Sritex yang terancam tutup. Ketua Umum API Jemmy Kartiwa meminta penyelesaian masalah Sritex ditangani secara holistik, mencakup upaya mengatasi banjir impor ilegal produk tekstil Cina.
Jemy, menilai salah satu penyebab bangkrutnya Sritex adalah keran impor garmen yang terbuka lebar. Namun, ia menilai revisi Peraturan Menteri Perdagangan No. 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor tidak menjadi jawaban yang holistik dalam permasalahan bangkrutnya perusahaan-perusahaan tekstil.
"Masalah utama industri tekstil saat ini adalah kelebihan produksi di Cina yang merangsek ke Indonesia dengan berbagai cara. Kita harus memikirkan tekstil Cina yang masuk secara ilegal," kata Jemmy kepada Katadata.co.id, Kamis (31/10).
Jemmy menyampaikan, Permendag No. 8 Tahun 2024 dapat membatasi impor pakaian jadi yang masuk secara legal. Namun, sebagian besar tekstil dari Cina masuk secara ilegal dengan cara impor borongan pintu ke pintu. Importasi dilakukan oleh pihak ketiga dan langsung diantarkan dari penjual di luar negeri ke pembeli di dalam negeri. Dampak dari praktek tersebut tercermin dari selisih data ekspor Cina ke Indonesia dan data impor Indonesia dari Cina.
Badan Pusat Statistik mendata nilai impor dari Cina mencapai US$ 322,98 juta pada kuartal pertama tahun ini. Nilai impor tersebut merupakan barang garmen jadi yang masuk dalam tiga pos tarif, yakni Pos Tarif 61, 62, dan 63. Pada pos tarif yang sama dalam periode yang sama, Biro Statistik Cina mendata nilai ekspor garmen jadi ke Indonesia mencapai US$ 883.48 juta. Dengan kata lain, ada selisih perdangan di sektor garmen jadi senilai US$ 560,5 juta yang masuk ke dalam negeri dan tidak tercatat oleh aparat penegak hukum.
"Perbedaan data impor garmen jadi dari Cina ini adalah kerugian bagi negara, industri tekstil nasional, termasuk Industri Kecil dan Menengah tekstil," ujarnya.
Jemmy menyampaikan, banjirnya produk garmen dari Negeri Panda kini membuat utilisasi dua pabrik garmen di Karawang, Jawa Barat dan Kaliwungu, Jawa Tengah hanya 30%. Utilisasi normal bagi industri padat karya adalah setidaknya 60% sampai 70%.
Ia berharap pemerintah menerapkan penyelesaian masalah Sritex lebih holistik agar dapat membantu industri garmen lainnya. Ini karena dua pabrik di Karawang dan Kaliwungu yang senasib Sritex ini mempekerjakan 4.000 orang dalam kondisi normal.
"Pendekatan yang sifatnya pemadam kebakaran dan kausitis harus segera dihentikan. Kalau tidak, pemerintah mungkin hanya bisa menyelamatkan satu pabrik garmen, tapi pabrik garmen lainnya tinggal menunggu giliran tutup," ujarnya.
Jemmy menilai kondisi Sritex saat ini merupakan dampak dari tidak sinergisnya regulasi dan absennya negara dalam kepastian hukum. Dengan demikian, keruntuhan Sritex dinilai menunjukkan iklim investasi nasional yang kini rentan rusak.
Di sisi lain, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia menolak opsi penyelamatan PT Sri Rejeki Isman Tbk alias Sritex dengan bantuan anggaran negara atau bailout. Jalan keluar yang terbaik untuk pabrik tekstil tersebut adalah memenangkan gugatan kasasi di Mahkamah Agung.
Pengadilan Negeri Semarang pada awal pekan lalu memutuskan perusahaan itu pailit setelah tidak mampu membayar utang sebesar US$ 1,6 miliar atau Rp 25 triliun. "Dengan status pailit dibatalkan di MA, Sritex dapat melanjutkan produksinya dan melanjutkan proses homologasi untuk membayar utang di depan pengadilan," kata Presiden KSPI Said Iqbal dalam konferensi pers virtual, Selasa (29/10).
Said mengatakan manajemen Sritex mengaku mampu menyelesaikan utang tersebut. Dengan begitu, perusahaan dapat menghindari pemutusan hubungan kerja atau PHK karyawan.