KSPI: Kemenaker Ajukan Alfa Upah Minimum Tahun Depan Menurut Jenis Industri
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia menyatakan proses pembahasan formula baru penentuan upah minimum tahun depan sedang berjalan. Sejauh ini, unsur yang terlibat dalam diskusi tersebut adalah pemerintah dan pihak buruh.
Wakil Presiden KSPI Kahar S Cahyono mengatakan variabel formula upah minimum yang digunakan belum berubah, yakni inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan alfa. "Persoalan dalam diskusi saat ini, belum ada kesepakatan berapa nilai alfa dalam formula tersebut," katanya dalam konferensi pers virtual, Kamis (7/11).
Kementerian Ketenagakerjaan mengajukan nilai alfa dibagi sesuai dengan jenis industri. Untuk industri padat karya angkanya di 0,2-0,5, sedangkan industri pada modal 0,2-0,8.
KSPI menolak usulan tersebut karena menyalahi esensi upah minimum yang dipahami serikat buruh. "Upah minimum adalah upah paling rendah yang berfungsi sebagai jaring pengaman. Tidak boleh ada upah di bawah upah minimum, sehingga kami menolak pendekatan alfa dengan dua kategori," katanya.
Serikat buruh mengusulkan alfa dalam formula pengupahan tidak berubah, yakni 1,0 sampai 1,2. Rentang tersebut dinilai dapat mempertahankan daya beli masyarakat pada tahun depan.
Presiden KSPI Said Iqbal sebelumnya mengatakan alfa 1,0-1,2 akan mendukung pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 8% atau sesuai dengan target presiden terpilih Prabowo Subianto. Kota-kota besar dapat menggunakan angka 1,0. Lalu, untuk tier iter dua dan tiga memakai 1,2 untuk memperkecil disparitas pendapatan.
"Usulan buruh jelas, alfa dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023 diubah menjadi 1,0 sampai 1,2," katanya. Rentang alfa dalam aturan penguapan itu adalah 0,1-0,3.
Pada pekan lalu, Mahkamah Konstitusi mengabulkan perubahan beberapa pasal ketenagakerjaan dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Keputusan ini membuat PP Nomor 51 Tahun 2023, yang merupakan turunan UU Cipta Kerja, tidak berlaku lagi secara hukum.
Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo berpendapat komponen indeks tertentu (atau alpha dalam PP Nomor 51 Tahun 2023) dalam undang-undang tersebut tidak memiliki penjelasan rinci dan perlu diberikan pemaknaan.
Frasa tersebut memiliki kekuatan hukum jika memiliki makna mewakili kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi dengan memperhatikan kepentingan perusahaan, pekerja, dan prinsip proporsionalitas untuk memenuhi kebutuhan hidup layak.