Trump Berpotensi Turunkan Harga Energi Fosil Usai Menang Pilpres AS
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Padjadjaran, Yayan Satyaki menilai kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden Amerika Serikat (AS) bakal mendorong perubahan kebijakan energi di Amerika. Sebab, pria berusia 78 tahun ini memiliki fokus untuk menurunkan inflasi di AS dengan menurunkan harga energi berbasis fosil.
Yayan memprediksi, harga minyak dunia akan turun di level US$ 65-70 per barel pada 2025. “Hal ini disebabkan kebijakan Trump yang menurunkan harga energi melalui produksi minyak mentah akan lebih intensif. Serta kemungkinan perubahan kebijakan AS terhadap Israel yang memicu penurunan tensi geopolitik di Timur Tengah sehingga menurunkan biaya logistik internasional,” kata Yayan saat dihubungi Katadata.co.id pada Senin (11/11).
Jika melihat prediksi jangka pendek dari Badan Energi Internasional (IEA) pada Oktober, harga minyak Brent turun 2,3% dari US$ 83 per barel menjadi US$ 81 per barel pada 2024. Sementara prediksi pada 2025 turun 7,7% dari US$ 84 per barel menjadi US$ 74 per barel.
Berdasarkan informasi Energy Information Administration (EIA) pada Maret 2024, terungkap bahwa AS adalah negara penghasil minyak mentah terbesar di dunia dengan produksi mencapai 13.3 juta barel per hari sejak Desember 2023.
Yayan melihat fokus Trump membuka ladang minyak di wilayah Texas Barat dan Timur New Mexico atau dikenal sebagai Permian Basin. Hal ini sebagai strategi Trump dalam meningkat produksi minyak mentah AS,
Trump akan mengembangkan hydraulic fracturing di Permian Basin, sebuah teknologi yang membutuhkan area luas untuk meningkatkan emisi metan. Teknologi ini memerlukan energi tambahan seperti shale gas, area industri yang luas, penggunaan air yang banyak dan sumber daya yang lebih boros. Hal ini dapat meningkatkan ground-level ozone yang berdampak pada Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA).
“Dia juga melakukan pengembangan horizontal drilling atau pembakaran fossil fuel yang cenderung mengeluarkan CO2 dan polutan lainnya serta kebocoran metan yang tidak ramah lingkungan. Sehingga kemungkinan kebijakan transisi energi bersih AS akan kembali sebelum Administrasi Joe Biden,” ujarnya.
Prospek Energi Bersih di Bawah Kepemimpinan Trump
Yayan memperkirakan Trump akan menghentikan kebijakan Inflation Reduction Act (IRA) yang fokus pada renewable energy dan green jobs. Hal ini karena program ini dinilai terlalu menguras pengeluaran pemerintah.
“Trump mengkritik Energi Angin dan Surya sangat mahal dengan produktivitas pembangkit yang sedikit, sehingga menyebabkan harga energi menjadi mahal dan inflasi. Bahkan Trump menyatakan bahwa Pembangkit Angin merusak kehidupan laut. Sementara dari sisi kebijakan kendaraan listrik (EV) Trump berseberangan dengan kebijakan EV Biden, karena menghancurkan industri otomotif AS,” ucap Yayan.
Selain itu, Trump juga menginginkan terciptanya tenaga kerja dan pemulihan ekonomi AS melalui pasar mobil tradisional yang cenderung tinggi emisi. Trump akan mengembangkan energi nuklir dengan fokus pada reaktor kecil, di mana kebijakan ini sama dengan kebijakan Joe Biden.
“Sehingga Trump berargumen dengan menstimulasi produksi minyak mentah akan menurunkan biaya energi hingga 50%. Walaupun argumen ini diperdebatkan karena harga minyak ditentukan oleh harga internasional,” katanya.
Meski Trump ingin menggenjot penggunaan energi fosil di bawah kepemimpinannya, hal ini tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya. Karena Biden telah menyetujui kebijakan Infrastructure Investment and Jobs Act (IIJA) dan Inflation Reduction Act (IRA) yang mempengaruhi terhadap kebijakan investasi jangka panjang energi AS.
Kebijakan IIJAS difokuskan pada pembangunan jalan, jembatan, dan kereta api dalam sistem transportasi, meningkatkan akses broadband, infrastruktur air, dan perbaikan sistem jaringan listrik yang sudah usang.
“IRA juga telah mengalokasikan sebesar US$ 369 miliar untuk energi bersih dan produksi energi terbarukan, dan pengurangan emisi, serta insentif pajak bagi individu dan keluarga untuk menghasilkan meningkatkan efisiensi energi. Bahkan sebagian besar anggota Partai Republik mendukung terhadap kebijakan IIJA dan IRA tersebut,” ujar Yayan.
Pengaruh Terhadap Indonesia
Yayan mengatakan, arah kebijakan energi era kepemimpinan Trump ini juga bisa berdampak bagi Indonesia. Salah satunya terkait harga minyak dan bahan bakar minyak (BBM).
“Jika melihat pada prediksi penurunan harga minyak mentah akibat produksi minyak AS, maka kemungkinan benefit yang akan diterima oleh Indonesia yaitu penurunan harga BBM,” kata Yayan.
Seperti yang diketahui, penetapan harga BBM non-subsidi di Indonesia sangat dipengaruhi oleh harga minyak dunia. Pertamina masih akan terus menyesuaikan harga BBM Non-subsidi mengikuti tren harga rata-rata publikasi minyak yakni Mean of Platts Singapore (MOPS) atau Argus dan juga mempertimbangkan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika.
Meski mempengaruhi harga BBM, dampak kemenangan Trump terhadap produksi migas nasional tidak terlalu signifikan. Dia menyebut hal ini karena Trump akan fokus pada produksi di wilayah Permian Basin.
Selain itu, penurunan produksi lifting migas Indonesia akibat lapangan yang tua juga berpengaruh. “Kecuali ada eksplorasi dan penemuan ladang minyak baru yang bisa ditawarkan Indonesia kepada investor. Bukan menawarkan ladang minyak yang lama. Karena rezim low risk lifting migas Indonesia sekarang ini sudah berakhir,” kata Yayan.
Sehingga perlu adanya eksplorasi dan penemuan ladang minyak baru yang relatif signifikan. “Andaikan ingin relevan antara Trump dengan kebijakan migas Indonesia, mungkin menawarkan kerja sama untuk eksplorasi ladang minyak baru ke Trump agar terjadi transfer of knowledge,” ujar Yayan.