Investor Keramik Cina Lebih Pilih Bangun Pabrik di Malaysia Gara-gara Harga Gas

Andi M. Arief
3 Januari 2025, 12:16
keramik, cina
ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/rwa.
Ilustrasi.
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia atau Asaki menyatakan investasi industri keramik dari Cina lebih memilih Malaysia sebagai tempat produksi dibandingkan Indonesia. Ketidakpastian kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu atau HGBT diduga menjadi akar masalah tersebut.

Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 91 Tahun 2023 tentang Penggunaan Gas Bumi dan HGBT menetapkan HGBT senilai US$ 6 per MMBTU hanya sampai akhir 2024. Kondisi tersebut diperburuk dengan PT Perusahaan Gas Negara yang menetapkan Alokasi Gas Industri Tertentu atau AGIT.

Ketua Umum Asaki Edy Suyanto menjelaskan, AGIT membuat PGN membatasi penggunaan gas HGBT oleh pabrikan antara 65% sampai 70% dari kuota yang ditetapkan. Penggunaan gas di atas kuota tersebut dikenakan tarif hingga US$ 16,77 per MMBTU pada bulan ini.

"Harga gas untuk industri di Malaysia adalah US$ 10,95 per MMBTU, jadi investor mendapatkan kepastian pasokan dan harga yang lebih bagus. Selain itu, investasi baru di Indonesia tidak bisa serta merta dapat harga gas US$ 6,5 per MMBTU," kata Edy kepada Katadata.co.id, Jumat (3/1).

Edy mencatat, investasi baru dari Cina di Malaysia berbentuk pabrik keramik berkapasitas 40 juta meter persegi. Namun, tidak menjelaskan lebih lanjut nilai dana segar yang mengalir ke Negeri Jiran itu.

Ia menilai masuknya investasi pabrik keramik asal Negeri Panda di Malaysia menjadi ancaman baru. Ini karena barang dari Malaysia tidak dikenakan bea masuk sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 93 Tahun 2022.

Edy menjelaskan, lonjakan harga gas sebesar 179,5% pada tahun ini mengurangi daya saing industri keramik nasional. Peningkatan harga tersebut membuat kontribusi harga gas ke biaya produksi keramik naik dari maksimal 25% menjadi hingga 35%.

Berakhirnya kebijakan HGBT akan membuat harga keramik impor lebih tinggi sekitar 10% dari keramik impor.Pada saat yang sama, biaya logistik dari Malaysia ke dalam negeri hanya mencapai US$ 150 per kontainer. Angka tersebut jauh lebih rendah dibandingkan biaya logistik Jakarta-Medan yang mencapai US$ 800 per kontainer.

Karena itu, Edy mendorong pemerintah turun tangan untuk menjaga keberlanjutan industri keramik nasional. Sebab, PGN berdalih kebijakan AGIT diperlukan karena ada masalah di hulu jaringan gas.

"Ini butuh campur tangan pemerintah. Kalau memang benar PGN ada gangguan gas, tolong dicarikan solusinya. Sebab, anggota kami yang menggunakan gas dari penyedia swasta tidak pernah ada kendala gangguan di hulu jaringan gas," ujarnya.

Presiden Joko Widodo sebelumnya memutuskan untuk  melanjutkan kebijakan harga gas bumi tertentu (HGBT) seharga US$ 6 per MMBTU bagi tujuh kelompok industri. Kebijakan harga gas murah industri ini semula akan berakhir pada tahun ini.  

Keputusan tersebut disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto usai rapat internal bersama Presiden Joko Widodo (Jokowi). Rapat membahas keberlanjutan dari kebijakan HGBT di Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (8/7).

"Keputusannya HGBT itu dilanjutkan pada sektor eksisting yang sekarang tujuh sektor," kata Airlangga, seperti dikutip dari Antara.

Adapun tujuh kelompok industri tersebut, yaitu industri pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, gelas kaca dan sarung tangan karet.

Reporter: Andi M. Arief
Editor: Agustiyanti

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...