Bapanas Ajak Pengusaha Penggilingan Padi untuk Investasi Alat Pengering Gabah


Badan Pangan Nasional (Bapanas) mendorong perusahaan penggilingan padi untuk meningkatkan investasi pada alat pengering gabah. Langkah ini dianggap penting mengingat proyeksi produksi Gabah Kering Panen (GKP) pada bulan depan mencapai 14 juta ton.
Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi menekankan bahwa alat pengering menjadi kebutuhan mendesak karena kadar air GKP dapat mencapai 30% selama musim peralihan pada April 2025.
"Alat pengering harus diperbanyak. Jangan ambil risiko karena tingginya produksi gabah dapat menurunkan kualitas akibat musim hujan," ujar Arief dalam konferensi pers di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Pangan, Senin (3/3).
Arief menjelaskan bahwa kadar air optimal untuk gabah berkualitas baik adalah maksimal 14% guna mencegah pembusukan atau munculnya kecambah. Dalam situasi Musim Panen Raya, penggunaan cahaya matahari untuk pengeringan sering tidak memungkinkan, sehingga peran alat pengering menjadi krusial.
Ia juga menambahkan bahwa akses permodalan bagi pengusaha penggilingan padi kini lebih mudah. "Bulog sudah menjadi pembeli siaga. Jika sebelumnya pengusaha harus memikirkan pengembalian dana investasi alat produksi, kini penjualan Gabah Kering Giling dapat menjadi solusi untuk melunasi kredit investasi," katanya.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat bahwa kredit di sektor pertanian, perburuan, dan kehutanan tumbuh 5,25% secara tahunan menjadi Rp 523,78 triliun pada tahun lalu. Namun, rasio kredit macet di sektor ini juga mengalami kenaikan dari 1,86% pada Desember 2023 menjadi 1,94% pada akhir 2024.
Produksi Beras Meningkat, Harga Tetap Naik
Sementara itu, Menteri Pertanian, Amran Sulaiman, menyebutkan bahwa produksi beras pada kuartal pertama 2025 mencapai 8,67 juta ton, meningkat hampir 3 juta ton dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Namun, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa secara keseluruhan produksi tahun ini masih mengalami defisit 6,97% atau lebih rendah 650.000 ton dibandingkan 2023 akibat dampak fenomena La Niña lemah.
Di sisi lain, harga beras medium mengalami kenaikan meskipun stok Cadangan Beras Pemerintah (CBP) cukup tinggi. "Stok beras di gudang Bulog mencapai 2 juta ton, produksi meningkat 52% secara tahunan pada kuartal pertama tahun ini, tetapi harga beras medium tetap naik hingga 5%. Ini adalah anomali," ujar Amran dalam kunjungannya di Gerai Pos Fatmawati, Senin (24/2).
Menurut data Badan Pangan Nasional (Bapanas), harga rata-rata nasional beras medium mencapai Rp 13.612 per kilogram, atau lebih tinggi hampir 9% dibandingkan Harga Eceran Tertinggi (HET) nasional yang ditetapkan sebesar Rp 12.500 per kg.
Sebanyak 19 dari 38 provinsi mengalami kenaikan harga beras medium lebih dari 5% di atas HET wilayah masing-masing. Papua Barat mencatat kenaikan tertinggi dengan harga mencapai Rp 16.333 per kg, selisih hampir 21% dari HET.
Sebaliknya, empat provinsi—Sumatra Selatan, Kalimantan Selatan, Banten, dan Jambi—memiliki harga beras medium lebih rendah dari HET, dengan harga terendah di Sumatra Selatan sebesar Rp 12.292 per kg.
Amran menegaskan bahwa kondisi ini seharusnya tidak terjadi mengingat ketersediaan stok CBP yang cukup. "Jika stok CBP hanya 1 juta ton, mungkin kondisi ini bisa terjadi, tetapi dengan 2 juta ton, kenaikan harga ini tidak wajar," tegasnya.
Ia juga menyoroti peran middleman dalam lonjakan harga. "Saat ini terjadi anomali harga beras akibat andil middleman. Saya meminta kepada para pengusaha untuk tidak menaikkan harga beras di pasar," ujarnya.