Minim Insentif, Produsen Enggan Ekspor Minyak Goreng Saat Permintaan Lesu


Pasokan minyak goreng di dalam negeri meningkat hingga 100% seiring dengan permintaan pemerintah agar produsen menggandakan produksi selama ramadan 2025. Namun, lonjakan pasokan ini tidak diikuti dengan pemanfaatan izin ekspor oleh produsen.
Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) menyebutkan bahwa produsen minyak goreng tidak memiliki insentif untuk memperbesar distribusi ke pasar domestik maupun memanfaatkan perizinan ekspor.
Salah satu faktornya adalah lesunya pasar global akibat harga minyak sawit mentah (CPO) yang stabil di atas US$ 1.300 per ton serta harga minyak kedelai yang lebih rendah.
Berdasarkan data YCharts, harga minyak kedelai mencapai US$ 1.068 per ton pada bulan lalu, sedangkan harga CPO global sekitar US$ 1.350 per ton.
Saat ini, sekitar 30% pasokan minyak goreng dalam negeri berasal dari kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan dijual dengan merek pemerintah, MinyaKita.
Biasanya, pemenuhan DMO menjadi syarat bagi produsen untuk mendapatkan izin ekspor CPO. Namun, stagnasi pasar luar negeri membuat izin ekspor yang diperoleh produsen tidak dimanfaatkan.
"Akhirnya, izin ekspor yang didapat dari pemenuhan DMO hanya disimpan karena pasar luar negeri sangat stagnan. Tidak ada insentif bagi eksportir untuk memperbesar volume DMO saat ini," kata Direktur Eksekutif GIMNI, Sahat Sinaga di Jakarta, Kamis (6/3).
Dengan kondisi ini, meskipun pasokan minyak goreng meningkat signifikan di dalam negeri, ekspor tetap terhambat akibat minimnya permintaan global dan kebijakan yang kurang menguntungkan bagi produsen.
Penurunan Konsumsi Minyak Goreng Domestik
Sahat juga mengungkapkan bahwa konsumsi minyak goreng di dalam negeri mulai menyusut karena masyarakat beralih ke margarin dan shortening, seiring tren konsumsi roti dan makanan cepat saji yang meningkat.
Ia menilai rencana peningkatan pasokan MinyaKita menjadi 380 ribu ton pada bulan ini terlalu besar untuk diserap pasar domestik. Meski demikian, ia mengakui bahwa pasokan minyak goreng dalam negeri harus tetap dijaga untuk menghindari kelangkaan seperti yang terjadi pada 2022.
Kala itu, harga minyak goreng curah sempat menyentuh Rp 23.000 per liter akibat tidak adanya pengaturan harga dan pasokan CPO bagi industri minyak goreng domestik. Harga CPO lokal bahkan sempat mencapai Rp 15.000 per kilogram karena harga ekspor menembus US$ 2.000 per ton.
Solusi Distribusi Minyak Goreng
Menurut Sahat, permasalahan saat ini bukan pada pasokan, melainkan distribusi. Oleh karena itu, ia mengusulkan agar pemerintah menambah jumlah pelaku pengemasan MinyaKita yang saat ini berjumlah 83 unit.
"Kami minta Kementerian Perdagangan segera mengambil aksi untuk memanfaatkan kapasitas produksi 113 unit fasilitas repacker minyak goreng di dalam negeri," ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Perdagangan Budi Santoso menyatakan bahwa pasokan MinyaKita akan meningkat dua kali lipat menjadi sekitar 380 ribu ton selama Ramadan 2025.
Hal ini bertujuan untuk menekan harga minyak goreng di bawah harga eceran tertinggi (HET) sebesar Rp 15.700 per liter. Saat ini, harga MinyaKita di pasar nasional masih berada di kisaran Rp 17.200 per liter.
"Namun, sudah ada komitmen dari para produsen untuk memasok volume MinyaKita menjadi dua kali lipat dari bulan biasa pada Ramadan 2025," kata Budi di Jakarta, Kamis (27/2).