Pemerintah Jalan Terus dengan Program B50 Tahun Depan, Pelaku Industri Waswas


Pemerintah meyakini program peningkatan campuran minyak nabati ke solar alias biodiesel menjadi 50% akan menyejahterakan petani. Program ini akan mengalihkan ekspor minyak sawit mentah (CPO) untuk program B40 menjadi B50 pada tahun depan.
"Pasti pelaksanaan program biodiesel ke depan akan dinamis tapi yang kami utamakan adalah bagaimana harga CPO global menguntungkan petani sawit nasional," kata Menteri Pertanian Amran Sulaiman di kantornya, Jakarta, Senin (10/3).
Produksi CPO nasional saat ini berkontribusi hingga 58% pasokan global. Indonesia kini menyumbang sekitar 20% pasokan minyak nabati global.
Pemerintah berencana mengendalikan harga minyak tersebut melalui program biodiesel. Menurut Amran, langkah ini telah berhasil Brasil lakukan dalam mengendalikan harga gula dunia.
Langkah pemerintah untuk mewujudkan itu adalah mengurangi volume ekspor, melalui peningkatan campuran biodiesel di saat harga CPO global rendah. Sebaliknya, ketika harga CPO terlalu tinggi, kebijakan campuran bahan bakar nabati (BBN) tersebut akan dilonggarkan.
Selain itu, kebijakan biodiesel juga untuk mewujudkan target pemerintah dalam menghentikan impor solar pada 2029. Pada tahun itu, pemerintah mematok peningkatan campuran biodiesel mencapai 100% alias B100. Rencana ini, dalam hitungan Amran, dapat menambah cadangan devisa nasional hingga Rp 266,5 triliun.
Industri Belum Siap dengan B50
Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) memproyeksikan produksi bahan baku dalam program wajib biodiesel tahun ini mencapai 15,6 juta kiloliter. Angka tersebut naik 16,41% dibandingkan realisasi tahun lalu yang tercatat sebesar 13,4 juta kiloliter.
Sekretaris Jenderal Aprobi Ernest Gunawan sebelumnya menjelaskan peningkatan ini sejalan dengan kenaikan kadar campuran fatty acid methyl ester (FAME) ke dalam solar dari 35% (B35) pada tahun lalu menjadi 40% (B40) pada tahun ini.
Namun, Ernest menilai, industri biodiesel nasional belum siap untuk meningkatkan campuran menjadi B50 pada tahun depan. Peningkatan tersebut akan mengharuskan pabrikan menggunakan seluruh kapasitas produksi yang ada.
Kebutuhan CPO untuk produksi FAME dalam program B50 bisa mencapai 18 juta ton atau setara 20 juta kiloliter. Sedangkan kapasitas terpasang industri biodiesel nasional saat ini baru mampu menyerap 19,56 juta ton CPO.
"Kami membutuhkan tambahan kapasitas terpasang sekitar 4 juta kiloliter agar industri dapat menjalankan program B50," katanya. Utilitas produksi pabrik CPO maksimal hanya 80%-85% karena harus memperhatikan perawatan berkala. "Jadi, pabrik biodiesel tidak bisa berjalan 100%," ujar Ernest.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono memproyeksikan program B50 dapat mengurangi volume ekspor CPO sekitar 6 juta ton pada tahun depan.
Sebelumnya, kebijakan peningkatan ke B35 telah memangkas ekspor sebesar 2,67 juta ton atau 8,31%, menjadi 29,53 juta ton. Dengan penerapan B40, ekspor CPO diperkirakan kembali berkurang 2 juta ton menjadi 27 juta ton tahun ini.
Jika program B50 diterapkan, ekspor CPO kemungkinan hanya tersisa 21 juta ton pada tahun depan. Langkah ini bisa berdampak pada inflasi dan berpotensi menaikkan harga minyak goreng seperti yang terjadi pada 2022.
Padahal, sekitar 40% produksi CPO nasional masih dipasok ke pasar global. Dengan Indonesia sebagai pemasok sekitar 56% volume CPO dunia, atau 20% dari total ekspor minyak nabati global, kebijakan ini dapat mempengaruhi harga internasional dan nasional.
Di sisi lain, program biodiesel masih mengandalkan dana dari pungutan ekspor CPO untuk menutupi selisih harga antara solar dan FAME. "Pemerintah harus memutuskan langkah mana yang lebih menguntungkan bagi negara, memperkuat devisa melalui ekspor CPO atau mengurangi impor bahan bakar fosil dengan program B50," kata Eddy.