Ingin Ekonomi Tumbuh di Atas 5%, Pengusaha Minta Pangkas Biaya Logistik

Mela Syaharani
20 Maret 2025, 17:46
Chairwoman APINDO, Shinta Kamdani menyampaikan paparan pada acara Permata Bank Economy Outlook 2025 di Jakarta, Selasa (3/12/2024).
Fauza Syahputra/Katadata
Chairwoman APINDO, Shinta Kamdani menyampaikan paparan pada acara Permata Bank Economy Outlook 2025 di Jakarta, Selasa (3/12/2024).

Ringkasan

  • Presiden Jokowi menugaskan Kementerian Kesehatan menurunkan harga obat dan alat kesehatan dengan mendorong industri dalam negeri, salah satunya untuk produksi USG.
  • Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin berencana menaikkan bea masuk USG impor dan membebaskan bea masuk komponen USG untuk mendorong industri USG dalam negeri.
  • Budi optimis penurunan harga dapat diwujudkan karena tingginya biaya obat dan alat kesehatan di Indonesia bukan disebabkan oleh skala ekonomi, melainkan masalah transparansi dan rantai pasok yang panjang.
! Ringkasan ini dihasilkan dengan menggunakan AI
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) merekomendasikan pemerintah untuk memperkuat kebijakan yang mendorong daya saing nasional. Hal ini diperlukan untuk menghadapi berbagai tantangan ekonomi Indonesia, dengan pertumbuhan yang relatif stagnan di angka 5%.

Ketua Umum Apindo, Shinta Widjaja Kamdani  berharap pemerintah dapat memastikan berjalannya reformasi yang berfokus pada efisiensi biaya operasional.

Beberapa kebijakan bisa disasar pada penurunan biaya logistik, efisiensi rantai pasok, dan penyederhanaan regulasi yang sering kali menjadi hambatan bagi pelaku usaha, serta memberikan insentif bagi ekspor dan investasi.

“Selain itu, penguatan pasar domestik dan daya beli masyarakat juga penting agar industri tetap memiliki penopang pertumbuhan yang solid di tengah ketidakpastian global,” kata Shinta kepada Katadata.co.id pada Rabu (19/3).

Shinta juga menjabarkan kondisi ekonomi Indonesia saat ini. Dia menyebut beberapa indikator makro ekonomi pada awal 2025 menunjukkan perekonomian Indonesia tengah menghadapi tekanan, baik dari eksternal maupun domestik.

Hal ini tampak dari deflasi (yoy) yang terjadi lagi setelah 25 tahun, tertekannya nilai tukar rupiah, menurunnya kinerja pasar saham, isu PHK, defisit APBN hingga menurunnya penerimaan pajak.

Badan Pusat Statistik alias BPS mengumumkan deflasi tahunan pada Februari 2025 tercatat sebesar 0,09% dibandingkan tahun sebelumnya alias year-on-year. Selain deflasi tahunan yang pertama dalam sekitar dua dekade, deflasi bulanan alias month-to-month juga tercatat pada Februari 2025 sebesar 0,48%.

“Data ini perlu kita cermati mengingat kita sedang memasuki awal bulan Ramadan di mana tingkat konsumsi masyarakat biasanya meningkat,” ujarnya.

Sementara itu, dia menyebut depresiasi atau pelemahan mata uang Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat hingga akhir bulan kedua 2025, masih berlanjut. Berdasarkan data Jakarta Interbank Spot Dolar Rate atau Jisdor Bank Indonesia, Rupiah tercatat menyentuh Rp16.575 per USD pada 28 Februari 2025.

“Level ini menjadikan Rupiah sebagai salah satu mata uang yang melemah paling dalam di sepanjang 2025,” ucapnya.

Meski begitu, kinerja perdagangan Indonesia pada Februari 2025 menunjukkan surplus neraca perdagangan sebesar US$ 3,12 miliar. Namun, terjadi lonjakan volume impor sebesar 16,4% (yoy), jauh lebih tinggi dibandingkan kenaikan nilai impornya yang hanya 2,3%.

Di sisi lain, meskipun nilai ekspor mengalami pertumbuhan 14,1% (yoy), volume ekspor justru mengalami kontraksi sebesar -1,4%. “Mengindikasikan bahwa peningkatan ekspor lebih dipengaruhi oleh kenaikan harga komoditas global daripada peningkatan daya saing industri domestik,” katanya.

Apindo juga melihat penurunan harga batu bara dan nikel turut menekan nilai ekspor di sektor ini, meskipun pemulihan harga minyak sawit sedikit membantu menopang ekspor.

Dengan struktur ekspor yang masih didominasi oleh komoditas mentah, menurutnya ketergantungan ini akan tetap menjadi tantangan utama bagi stabilitas perdagangan Indonesia jika tidak disertai dengan diversifikasi industri.

Kondisi Industri dan Fiskal

Shinta mengatakan dari sektor industri, kinerjanya mencatatkan hasil positif dengan capaian PMI Manufaktur Indonesia yang meningkat ke level 53,6 pada Februari 2025. Ini merupakan ekspansi tiga bulan beruntun sejak Desember 2024, setelah lima bulan sebelumnya terus menerus mengalami kontraksi.

Dia menyebut kondisi ini tentu menjadi angin segar di tengah berbagai tantangan global dan domestik yang dihadapi pelaku usaha. Meskipun demikian, perlu dilihat apakah peningkatan aktivitas ini terjadi karena faktor musiman atau memang terjadi pemulihan.

“Dunia usaha tetap mencermati faktor risiko, seperti fluktuasi nilai tukar, kenaikan biaya bahan baku, serta kondisi permintaan global yang belum sepenuhnya stabil,” kata Shinta.

Dari sisi kinerja fiskal, Menkeu Sri Mulyani baru mengumumkan postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia yang mengalami defisit.

Pada periode Januari hingga Februari 2025, APBN Indonesia mencatat defisit sebesar Rp 31,2 triliun, atau sekitar 0,13% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Meskipun defisit, dia menyebut kondisi tersebut masih dalam batas yang direncanakan oleh pemerintah.

“Namun kita juga perlu mencermati adanya penurunan penerimaan pajak dan peningkatan rasio utang sebagai indikator yang perlu diwaspadai," kata Shinta.

Melihat berbagai kondisi tersebut, Shinta mengatakan, dalam Outlook Perekonomian APINDO, diprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 memang masih akan menghadapi berbagai tantangan, dan akan tetap stagnan berada dalam rentang 4,90% hingga 5,20% (yoy).

Hal ini dilandaskan pada tekanan eksternal yang masih terjadi seperti tensi geopolitik, fragmentasi perdagangan global, hingga dinamika di Amerika Serikat pasca terpilihnya Presiden Donald Trump.

“Disisi lain, di level domestik isu utama yang sangat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi tahun 2025 ini adalah pelemahan daya beli masyarakat dan penurunan kelas menengah yang selama ini menjadi penopang konsumsi dalam negeri,” kata dia.

Shinta menyebut, pelemahan daya beli, menjadi tantangan sejak tahun sebelumnya dan menjadi tantangan domestik di 2025 ini. Hal ini diperkuat dengan kondisi deflasi selama lima bulan berturut-turut dari Mei hingga September 2024, yang ternyata berlanjut di dua bulan pertama tahun 2025 ini.

Meskipun demikian, dia menyebut Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Februari 2025 berada pada level optimis sebesar 126,4 meskipun menurun dari level bulan sebelumnya, yakni 127,2.

“Apindo berharap agar pemerintah terus menjalin dialog terbuka dengan dunia usaha untuk menyempurnakan kebijakan yang ada," ujarnya.

Kinerja ekonomi dalam dua bulan pertama tahun ini tak menunjukkan tanda-tanda menggembirakan. Indeks harga konsumen deflasi, impor barang konsumsi anjlok, dan penerimaan negara yang jeblok memicu kekhawatiran terhadap kondisi ekonomi pada tahun ini. 

Sebelumnya, Kepala Ekonom BCA David Sumual menilai, daya beli masyarakat memang melemah pada kuartal pertama 2025. Kondisi ini, antara lain terlihat dari impor konsumsi yang anjlok dalam dua bulan pertama tahun ini. 

Selain itu, menurut dia, insentif pemerintah yang memberikan diskon tarif listrik juga tak banyak membantu karena bersifat temporer. David melihat efisiensi anggaran juga akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Ini karena realokasi program lama ke program baru membutuhkan jeda waktu. 

"Kemungkinan ekonomi tumbuh di bawah 5% pada kuartal pertama 2025," ujar Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk David Sumual, Selasa (18/3). 


Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Mela Syaharani

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...