Hadapi Tarif Trump, RI Incar Pasar Uni Eropa dan BRICS untuk Genjot Ekspor


Pemerintah mengincar pasar ekspor alternatif seperti Uni Eropa dan negara-negara BRICS (Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan), menyusul kebijakan Amerika Serikat (AS) yang menaikkan tarif impor produk Indonesia menjadi 32%. Langkah ini dinilai realistis, karena nilai ekspor Indonesia ke AS tidak terlalu dominan dibandingkan pasar lain.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mencatat nilai ekspor ke AS mencapai US$ 26 miliar per tahun, menjadi terbesar kedua setelah Cina yang mencapai US$ 60 miliar. Nilai ini juga tidak jauh berbeda dengan India, yang mencapai US$ 20 miliar.
"Amerika bukan satu-satunya pasar yang kami usahakan, maka kami bisa mengantisipasi kenaikan tarif ini. Dengan data tersebut, tentu kami bisa membuka pasar lain di luar Amerika Serikat," kata Airlangga dalam Silaturahmi Ekonomi Bersama Presiden RI di Jakarta, Selasa (8/4).
Airlangga menghitung nilai kontribusi ekspor ke AS hanya sekitar 17% dari total ekspor nasional. Dengan demikian, 83% nilai ekspor Indonesia berasal dari negara lain.
Salah satu pasar alternatif yang diincar adalah Uni Eropa melalui penyelesaian perundingan Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA). Menurutnya, saat ini hanya ada satu isu yang belum tuntas, yakni terkait transparansi perdagangan.
"IEU-CEPA bisa selesai dengan satu regulasi, yang akan diumumkan Presiden Prabowo Subianto dalam waktu dekat," ujarnya. Namun ia tidak merinci isi dari regulasi tersebut.
Airlangga juga menyebut peraturan yang sama dapat menjadi jalan keluar dalam menyelesaikan perjanjian dagang bilateral dengan AS. Meski begitu, ia memberi sinyal pemerintah lebih memilih mengembangkan pasar di Eropa.
"Pasar Uni Eropa besar atau sekitar Rp 16,6 triliun. Mayoritas ekspor produk makanan dan minuman serta tekstil dan produk tekstil ada di Eropa, bukan Amerika Serikat," kata Airlangga.
Selain Uni Eropa, pemerintah juga membuka peluang pasar lewat keanggotaan Indonesia di dua blok ekonomi internasional yaitu Perjanjian Komprehensif dan Progresif untuk Kemitraan Trans-Pasifik (CPTPP) dan BRICS.
Diversifikasi Pasar Ekspor
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut diversifikasi pasar ekspor menjadi pembahasan utama dalam perdagangan global. Ia mengatakan, banyak negara kini mencari alternatif pasar untuk mengalihkan perdagangan dari AS pasca kenaikan tarif.
Dia memproyeksi banyak negara akan mengasingkan AS dalam perdagangan global, karena kontribusi Amerika dan Cina hanya sekitar 25% dari total perdagangan global.
Namun, Sri Mulyani mengingatkan bahwa perpindahan pasar ekspor dari AS bisa berdampak pada peningkatan impor nasional. Sehingga efek tumpahan akibat pergeseran pasar ekspor ini tidak bisa dianggap ringan.
Meski demikian, ia menilai beberapa sektor manufaktur Indonesia bisa memanfaatkan peluang dari peningkatan tarif di AS karena daya saing produk lokal menjadi lebih tinggi.
Ia juga menyoroti beberapa negara mendapat tarif lebih rendah dibanding Indonesia, seperti Filipina dikenakan tarif 17%, Korea Selatan 25%, dan India sekitar 26%.
"Jadi, kita harus melihat komoditas apa yang berpotensi membuat Indonesia menjadi pemasok utama di AS, dengan melihat komoditas tertentu yang tarifnya lebih rendah dari negera lain," katanya.