Prabowo Ingin Ubah Aturan TKDN untuk Hadapi Tarif AS, Apa Dampaknya?


Rencana pemerintahan Presiden terpilih Prabowo Subianto untuk melonggarkan aturan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), khususnya terhadap produk teknologi asal Amerika Serikat (AS), mendapat sorotan dari berbagai kalangan.
Langkah ini dinilai sebagai respons strategis atas kebijakan tarif resiprokal sebesar 32% yang sebelumnya diterapkan oleh pemerintah AS terhadap sejumlah produk asal Indonesia.
Pemerintah sendiri tengah menyiapkan paket negosiasi melalui revitalisasi Perjanjian Kerja Sama Perdagangan dan Investasi (TIFA), relaksasi kebijakan non-tarif seperti Tingkat Komponen Dasar Negeri (TKDN), serta penyeimbangan neraca dagang melalui pembelian produk strategis dari AS.
TKDN Menjadi Tantangan Besar
Ekonom LPEM FEB UI Teuku Riefky menilai langkah Indonesia menempuh jalur diplomasi ketimbang retaliasi sebagai pilihan yang pragmatis dan strategis.
“Terkait dengan paket negosiasi, ini saya rasa cukup baik daripada kita retaliasi. Memang lebih baik kita melakukan negosiasi,” ujar Riefky pada Rabu (9/4).
Menurutnya, hambatan non-tarif seperti TKDN selama ini kerap menjadi tantangan besar bagi daya saing industri dalam negeri. Dalam konteks ekonomi global yang saling terhubung, proteksionisme justru bisa menjadi bumerang.
“Kebijakan seperti TKDN yang terlalu kaku justru meningkatkan ongkos produksi dan menurunkan daya saing ekspor kita. Relaksasi menjadi langkah awal yang tepat,” ujarnya pada Rabu (9/4).
Riefky mencontohkan kasus peluncuran iPhone 16 yang sempat terhambat masuk ke pasar Indonesia akibat kendala aturan TKDN. Hal ini menunjukkan bahwa hambatan regulasi dapat kontraproduktif terhadap inovasi dan keterjangkauan teknologi.
"Kebijakan TKDN sempat membuat kita terhalang mendapatkan produk iPhone 16 yang mau masuk ke Indonesia," ujarnya.
Peringatan Risiko Strategis
Namun, pelonggaran aturan TKDN juga menuai peringatan serius dari kalangan pemerhati digital. Direktur Eksekutif Indonesian Digital & Cyber Institute (IDCI) Yayang Ruzaldy menilai relaksasi TKDN memang bisa membuka peluang kerja sama teknologi dengan perusahaan-perusahaan besar AS seperti Apple, Microsoft, dan General Electric. Namun, langkah ini harus dikawal dengan strategi jangka panjang yang terukur.
“Tapi jika relaksasi ini dilakukan tanpa kerangka jangka panjang, industri lokal dapat kehilangan daya saing, dan Indonesia akan kembali terjebak dalam ketergangungan teknologi asing, baik dari sisi perangkat keras maupun lunak," ujarnya.
IDCI mengusulkan pendekatan TKDN 2.0 yang tidak hanya menghitung komponen fisik, tetapi juga nilai lokal seperti penguasaan kekayaan intelektual, kontribusi terhadap riset nasional, dan keterlibatan tenaga kerja lokal terampil.
“Relaksasi TKDN seharusnya menjadi jembatan negosiasi, bukan kemunduran. Harus ada prasyarat ketat seperti alih teknologi, kolaborasi riset, pelibatan tenaga kerja dan pembangunan pusat inovasi bersama,” kata Yayang.
IDCI juga memperingatkan agar relaksasi TKDN ini tidak menjadi preseden buruk di mana Indonesia dianggap mudah ditekan lewat instrumen tarif, dan kemudian merespons dengan kelonggaran regulasi yang bersifat jangka pendek.