Sejarah Panjang Perang Dagang AS-Cina: Dari Masalah Defisit ke Persaingan Global

Ferrika Lukmana Sari
11 April 2025, 14:09
Perang Dagang
Budastock/123rf
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Ketegangan dagang antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia, Amerika Serikat (AS) dan Cina kembali memanas. Sejak awal 2025, Presiden AS Donald Trump yang baru kembali menjabat, langsung mengambil langkah agresif dengan menaikkan tarif secara luas atas berbagai produk impor dari Cina, disusul respons balasan dari Beijing.

Perang dagang ini bukan konflik baru, melainkan kelanjutan dari perseteruan yang sudah berlangsung lebih dari tujuh tahun. Perseteruan ini bermula dari defisit neraca perdagangan AS dengan Cina, lalu berkembang menjadi persaingan dominasi global.

Untuk memahami bagaimana konflik ini berkembang dan kembali memanas, tulisan ini disusun berdasarkan laporan dari Associated Press (AP News) dan Channel News Asia. Berikut kronologi perang dagang AS–Cina, mulai dari pemicunya, eskalasi awal, upaya damai, hingga konfrontasi terbaru yang melibatkan negara-negara lain.

Ambisi Trump Pangkas Defisit Dagang AS (2017–2018)

Perang dagang AS-Cina pertama kali mencuat pada awal masa jabatan pertama Trump. Pada Maret 2017, Trump menandatangani perintah eksekutif untuk memperketat penegakan tarif dalam kasus dumping. Tujuannya jelas untuk memangkas defisit perdagangan AS yang membengkak, terutama dengan Cina.

Berdasarkan data Biro Sensus AS, pada tahun 2017, defisit perdagangan barang AS dengan Cina tercatat sebesar US$ 375,17 miliar, meningkat dari US$ 346,83 miliar pada 2016 dan US$ 367,33 miliar pada 2015. 

April 2017, dalam pertemuan bilateral di Beijing, Trump dan Presiden Xi Jinping sepakat untuk memulai program 100 hari negosiasi dagang. Namun, inisiatif itu gagal total hanya dalam waktu tiga bulan.

Pada Agustus 2017, Trump memerintahkan investigasi atas dugaan pencurian kekayaan intelektual oleh Cina, yang menurut estimasi AS merugikan hingga US$600 miliar per tahun.

Kebijakan agresif pertama muncul awal 2018, ketika Trump memberlakukan tarif 30% atas panel surya impor, yang merupakan sektor yang didominasi oleh Cina. Beijing membalas dengan tarif atas produk pertanian, baja, dan daging babi dari AS.

Perang Tarif Saling Balas (2018–2019)

Tahun 2018 menjadi titik balik eskalasi. April tahun itu, AS menjatuhkan tarif 25% atas barang-barang Cina senilai US$50 miliar. Cina membalas dengan nilai serupa. Setelah itu, kedua negara terlibat dalam serangkaian tarif balasan secara beruntun.

Antara Juni hingga Agustus 2018, AS mengenakan tarif atas lebih dari US$250 miliar barang Cina, termasuk produk teknologi, otomotif, dan pertanian. Sebagai balasan, Cina menjatuhkan tarif atas produk pertanian AS seperti kedelai, jagung, dan daging, dengan nilai lebih dari US$110 miliar.

Upaya untuk meredakan ketegangan sempat muncul pada Desember 2018, ketika kedua negara sepakat melakukan jeda dalam pemberlakuan tarif baru. Namun, negosiasi kembali gagal pada Mei 2019, dan Trump langsung menaikkan tarif menjadi 25% atas US$200 miliar produk-produk Cina.

Pada bulan yang sama, Washington melarang Huawei membeli komponen dari perusahaan AS, menandai bahwa perang dagang telah meluas ke sektor teknologi strategis.

Kesepakatan yang Gagal dan Transisi ke Biden (2020–2023)

Setelah perang dagang menekan pertumbuhan global dan pasar keuangan, Januari 2020 kedua negara menandatangani kesepakatan dagang fase satu. Dalam kesepakatan ini, Cina berkomitmen membeli tambahan US$200 miliar barang dan jasa dari AS dalam dua tahun. Namun, studi dari lembaga Peterson Institute for International Economics menunjukkan bahwa komitmen itu tidak terpenuhi.

Meski perang tarif sedikit mereda, tensi dagang tetap tinggi. Presiden Joe Biden yang menggantikan Trump di awal 2021, mempertahankan sebagian besar tarif era Trump dan memperluas kebijakan strategis.

Pada Oktober 2022, pemerintahan Biden memberlakukan pembatasan besar atas penjualan semikonduktor dan peralatan manufaktur chip ke Cina, yang diperluas lagi pada Oktober 2023 dan Desember 2024.

Langkah ini secara tidak langsung memperluas dimensi perang dagang ke persaingan teknologi dan keamanan nasional. Biden kemudian menaikan tarif kendaraan listrik, baja, alumunium dan peralatan medis Cina.

Perang Dagang AS-Cina Memasuki Babak Baru (2025)

Perang dagang memasuki babak baru setelah Trump kembali ke Gedung Putih pada Januari 2025. Tak menunggu lama, ia langsung memberlakukan tarif 10% atas semua barang impor dari Cina per 4 Februari. Ini mencakup produk teknologi konsumen, pakaian cepat saji (fast fashion), hingga mainan dan laptop.

Cina merespons pada hari yang sama, dengan tarif 15% untuk batu bara dan LNG, serta 10% untuk minyak mentah, mesin pertanian, dan mobil bermesin besar asal AS. Pemerintah Cina juga membuka investigasi antimonopoli terhadap Google dan membatasi ekspor lima jenis logam tanah jarang yang krusial bagi industri pertahanan dan energi bersih.

Trump kemudian memperluas serangan dagang:

  • 10 Februari: Tarif baja dan aluminium naik jadi 25%, tanpa pengecualian.
  • 13 Februari: Diumumkan kebijakan "tarif resiprokal", yang menaikkan tarif AS sesuai tarif yang diberlakukan negara lain pada AS.
  • 25 Februari – 4 April: Serangkaian tarif baru diberlakukan pada tembaga, kayu, kendaraan, dan berbagai barang dari Meksiko, Kanada, serta Uni Eropa.
  • 2 April: Tarif terhadap barang dari Cina dinaikkan lagi menjadi 34%, dan terhadap Jepang, Korea Selatan, Taiwan, serta negara-negara UE antara 20%-32%.

Sebagai balasan, Cina mengumumkan tarif 34% atas seluruh barang dari AS yang berlaku mulai 10 April, serta sanksi tambahan untuk puluhan perusahaan AS. Beijing juga memperketat kontrol ekspor untuk logam strategis dan produk pertanian.

Trump Tak Beri Penangguhan Tarif 90 Hari ke Cina

Pada 9 April, AS secara resmi memberlakukan tarif resiprokal yang lebih tinggi, namun sebagian besar tarif tersebut langsung ditangguhkan selama 90 hari, kecuali tarif minimum 10% atas hampir semua impor global yang tetap berlaku.

Cina menjadi pengecualian, karena Trump langsung menaikkan tarif atas barang-barang asal Cina menjadi 125%, atau naik drastis dari tarif sebelumnya yang sudah mencapai 104%. Hal ini sebagai buntut dari tuduhan keterlibatan Cina dalam peredaran fentanyl ke AS.

Negara lain pun ikut bereaksi. Kanada memberlakukan tarif 25% untuk mobil impor dari AS yang tidak sesuai dengan kesepakatan dagang United States-Mexico-Canada Agreement (USMCA), dan Uni Eropa menyetujui tarif balasan atas barang AS senilai US$23 miliar yang akan diberlakukan secara bertahap mulai 15 April.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Ferrika Lukmana Sari

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan