Data BPS: AS Jadi Negara Tujuan Utama Ekspor Tekstil dan Alas Kaki Indonesia


Badan Pusat Statistik atau BPS mengungkapkan Amerika Serikat menjadi negara tujuan utama ekspor produk tekstil dan alas kaki Indonesia. Nilai ekspor alas kaki pada periode Januari-Maret 2025 mencapai US$ 657,9 juta, pakai dan aksesorisnya (rajutan) senilai US$ 629,2 juta, serta pakaian bukan rajutan sebesar tercatat US$ 568,4 juta.
Total ekspor tekstil dan alas kaki Indonesia pada periode tersebut ke AS mencapai US$ 1.855,6 juta atau sekitar Rp 31,2 triliun (menggunakan kurs JISDOR per 21 April 2025 Rp 16.808 per dolar AS).
“Dari seluruh ekspor pakaian dan aksesoris atau yang berurutan rajutan, pangsa ekspor kita ke AS adalah yang tertinggi yaitu sebesar 63,40% disusul dengan ekspor barang yang sama ke Jepang dan Korea Selatan,” kata Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (21/4).
Sebanyak 42,9% ekspor pakaian dan aksesoris yang bukan rajutan dari Indonesia ditujukan ke AS. Lalu disusul oleh Jepang dan kemudian ke Korea Selatan.
Terakhir, porsi ekspor alas kaki dari Indonesia ke AS sebesar 34,1%. Negara berikutnya terbesar tujuan ekspor alas kaki dari Indonesia adalah ke Belanda, Belgia, Jepang, dan Cina.
Amalia merinci, negara lainnya setelah AS yang menjadi tujuan utama RI yaitu Jepang senilai US$ 261,7 juta. Begitu juga dengan Korea Selatan sebesar US$ 165,4 juta dan USD dan Cina mencapai US$ 109,4 juta.
Sementara alas kaki setelah paling besar AS yaitu Belanda yang nilainya mencapai US$ 160,8 juta. Lalu kemudian Belgia mencapai US$ 149,3 juta dan Cina US$ 114,1 juta.
AS Tetapkan Bea Masuk Produk Tekstil RI
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan saat ini Indonesia sudah terkena tarif impor 47% ke Amerika Serikat setelah adanya kebijakan tarif dasar tambahan 10%. Sebelumnya, Indonesia mendapatkan tarif di sekitar 10-37%.
“Dengan diberlakukannya 10% tambahan, maka tarifnya itu 37% ditambah 10%,” kata Airlangga saat konferensi pers secara daring di AS, Kamis (17/4).
Pemerintah Indonesia juga sudah menyampaikan kekhawatirannya atas kebijakan tarif ini. Sebab hal ini akan memberikan beban tambahan yang hanya ditanggung oleh pembeli atau pengimpor, tetapi juga oleh eksportir Indonesia.
"Karena tambahan biaya itu diminta oleh para pembeli agar sharing dengan Indonesia, bukan pembelinya saja yang membayar pajak tersebut,” ujar Airlangga.