Industri Tekstil Dapat Suntikan Rp 4,2 Triliun, Relokasi Pabrik Cina Mulai Jalan


Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) mengumumkan adanya investasi senilai US$ 250 juta atau sekitar Rp 4,2 triliun yang akan memasuki industri tekstil pada tahun ini.
Investasi tersebut akan digunakan untuk reaktivasi mesin produksi oleh tiga perusahaan yang sudah ada, serta pembangunan pabrik baru yang berasal dari relokasi pabrik asal Cina.
Ketua Umum APSyFI Redma Wirawasta menjelaskan bahwa investasi ini didorong oleh dua faktor utama. Pertama, terbitnya rekomendasi pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) terhadap filamen, dan kedua, penambahan tarif oleh pemerintah Amerika Serikat (AS) untuk barang asal Cina.
"Tanpa negosiasi yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk menurunkan tarif yang dikenakan pada barang lokal di AS, keempat investasi ini akan tetap berjalan," kata Redma kepada Katadata.co.id pada Selasa (29/4).
Redma mencatat relokasi pabrik tekstil asal Cina akan memproduksi serat dengan kapasitas 90.000 ton per tahun di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Kendal. Selain itu, penjajakan awal juga telah dilakukan untuk pendirian dua pabrik tekstil tambahan yang melibatkan investor asal Taiwan.
Sementara itu, reaktivasi fasilitas produksi oleh tiga pabrikan eksisting akan meningkatkan kapasitas produksi nasional menjadi 100.000 ton serat dan 300.000 ton filamen. Redma juga mengungkapkan bahwa industri tekstil domestik saat ini mampu memasok 1,4 juta ton bahan baku untuk industri garmen.
Dampak Kebijakan Tarif AS
Terkait dengan dampak kebijakan tarif, Redma mengungkapkan bahwa rata-rata barang lokal yang diekspor ke Amerika Serikat akan terkena tarif tambahan sebesar 32% pada semester kedua tahun ini. Sementara barang asal Cina akan dikenakan tarif tambahan hingga 150%.
Oleh karena itu, Redma menyebut produsen tekstil dan produk tekstil (TPT) asal Cina tetap akan merelokasi pabriknya ke luar negeri demi menjaga daya saing di pasar Amerika Serikat. Ia juga menegaskan bahwa kunci realisasi potensi investasi tersebut terletak pada konversi rekomendasi BMAD filamen menjadi kebijakan resmi.
Selain itu, Redma juga menekankan bahwa saat ini serat dan benang impor menguasai 54% pasar domestik, dan angka tersebut harus ditekan menjadi 25% agar investasi senilai Rp 4,2 triliun dapat terealisasi.
Saat ini, volume serat dan benang di pasar hanya sekitar 880.000 ton atau 46% dari kapasitas total. Akibatnya, tingkat utilisasi produksi industri tekstil pun turun menjadi hanya 45%
Ia memproyeksikan bahwa implementasi BMAD dapat meningkatkan utilisasi produksi industri tekstil domestik menjadi 70% pada tahun ini. Hal ini seiring dengan penurunan produk impor di pasar lokal, yang akan mendorong permintaan serat dan benang dalam negeri.
Redma juga menjelaskan bahwa lonjakan permintaan ini akan didorong oleh karakter industri tekstil yang terintegrasi. Dengan perlindungan terhadap produk filamen, produksi pabrikan polimer domestik pun akan turut terdorong.
Jika pemerintah menerima rekomendasi Asosiasi Pertekstilan Indonesia untuk mengenakan BMAD terhadap benang, Redma memproyeksikan utilisasi industri tekstil bisa mencapai 70% dan ini akan meningkatkan kepercayaan investor.
"Permintaan di dalam negeri akan bertambah karena berkurangnya produk impor, sementara volume ekspor ke AS masih terjaga," kata Redma.