Kredit Bank Terlalu Ketat, Pengembang Waspadai Program 3 Juta Rumah Terhambat


Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) menilai bahwa penambahan kuota rumah bersubsidi belum memberikan dampak signifikan terhadap pencapaian target pembangunan 3 juta rumah. Menurut pengembang, kebijakan di sektor keuangan menjadi kunci keberhasilan realisasi program tersebut.
Wakil Ketua Umum Bidang Perizinan, Pertanahan, Advokasi, dan Kebijakan Publik Apersi, Moh. Solikin, menyebut perbankan masih cenderung memprioritaskan debitur dengan pendapatan tetap. Hal ini mempersempit akses masyarakat berpenghasilan rendah, khususnya dari sektor informal, terhadap pembiayaan rumah bersubsidi.
"Sistem Layanan Informasi Keuangan yang dikelola OJK menjadi sumber utama ditolaknya pengajuan KPR bersubsidi saat ini," kata Soliki kepada Katadata.co.id, Rabu (28/5).
Menurut Solikin, mayoritas debitur baru dinilai tidak layak oleh bank karena sistem perbankan belum mampu menerjemahkan program 3 juta rumah sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN).
Ia juga menyoroti kebijakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang dinilai terlalu ketat bagi pekerja informal. Solikin menyebut Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) yang dikelola OJK sebagai penyebab utama banyaknya pengajuan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) bersubsidi yang ditolak.
“Kekhawatiran pihak perbankan terhadap KPR bersubsidi sangat berlebihan, sebab NPL KPR bersubsidi saat ini tidak lebih dari 2%,” katanya.
Solikin membandingkan rasio kredit bermasalah (NPL) KPR bersubsidi dengan KPR konvensional. Berdasarkan data OJK, NPL KPR secara umum naik dari 2,49% pada Februari 2024 menjadi 2,88% pada Februari 2025. Namun NPL KPR bersubsidi tetap berada di bawah 2%.
Meski demikian, ia mengakui bahwa kondisi ekonomi turut menjadi tantangan tersendiri bagi pengembang. Daya beli masyarakat yang menurun mempersulit pencapaian target program.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah pengangguran naik 83.450 orang secara tahunan per Februari 2025 menjadi 7,28 juta orang. Sementara itu, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat 77.965 kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) sepanjang 2024.
“Tentu pengembang harus berani membuat terobosan-terobosan untuk mengakomodasi keinginan konsumen dalam memiliki rumah,” kata Solikin.
Perizinan Tanah Masih Jadi Masalah
Solikin juga menyoroti lambannya proses penerbitan izin tanah, yang diduga disebabkan oleh oknum di pemerintah daerah maupun Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR). Ia mengaku pengembang harus mengeluarkan biaya yang tidak jelas peruntukannya untuk proses penerbitan izin tanah.
Masalah ini semakin diperumit dengan terbitnya Peraturan Menteri ATR No. 2 Tahun 2025 tentang Pelimpahan Kewenangan Penetapan Hak Atas Tanah dan Kegiatan Pendaftaran Tanah.
Meskipun beleid ini bertujuan meningkatkan efisiensi pelayanan pertanahan, Solikin menilai implementasinya justru berpotensi memperlambat proses perizinan.
Salah satu ketentuan penting dalam aturan tersebut adalah klasifikasi risiko perizinan tanah ke dalam tiga kategori yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Namun, seluruh wilayah Pulau Jawa dan Madura masuk kategori tinggi karena dinilai memiliki potensi konflik pertanahan yang besar.
“Beleid ini tentu akan menjadi bola liar di Badan Pertanahan Negara yang akhirnya membuat proses perizinan tanah semakin jauh dari kata cepat dan tepat waktu,” kata Solikin.