Luhut Sebut Danantara Berminat Investasi di Hilirisasi Rumput Laut


Ketua Dewan Ekonomi Nasional, Luhut B Pandjaitan, mengatakan Daya Anagara Nusantara atau Danantara berminat berinvestasi dalam program hilirisasi rumput laut. Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi menghitung hilirisasi rumput laut berpotensi membawa nilai tambah hingga 13 kali lipat.
Luhut mengaku program hilirisasi rumput laut masih dalam tahap studi yang bekerjasama dengan University of California, Berkeley asal Amerika Serikat. Kajian tersebut dilakukan di dua lokasi, yakni Kota Buleleng, Bali dan Pulau Lombok, Nusa Tenggara Timur.
"Saat ini banyak investor yang berminat dalam program hilirisasi rumput lalu. Danantara sedang melihat perkembangan studi program ini," kata Luhut dalam International Conference on Infrastructure, Kamis (12/6).
Salah satu produk turunan rumput laut yang disoroti Luhut adalah pupuk organik. Sebab, sejauh ini Indonesia kerap mengekspor rumput laut mentah ke India sebagai bahan baku industri pupuk organik di Negeri Bollywood.
Pada akhir 2023, pemerintah mendata harga rumput laut di dalam negeri saat ini mencapai US$ 1.000 sampai US$ 2.000 per ton. Sementara itu, industri pupuk organik dapat menyerap rumput laut di harga US$ 8.000 per ton.
Sementara itu, industri karagenan dan agar dapat menyerap rumput laut dengan harga maksimal US$ 13.000 per ton. Karagenan dan agar adalah bahan baku bagi industri farmasi, kosmetik, dan makanan olahan.
Komoditas lain yang disoroti Luhut adalah pengolahan rumput laut menjadi bahan bakar nabati. Luhut memaparkan teknologi saat ini dapat mengolah setiap ton rumput laut hijau menjadi 356 liter etanol.
Pemerintah menargetkan produksi etanol dari rumput laut mencapai 4 miliar liter atau setara dengan 10% permintaan bahan bakar nabati untuk pesawat jet. Luhut menunjukkan total area produksi rumput laut yang dibutuhkan untuk mencapai target tersebut mencapai 260.000 hektare.
Di sisi lain, Luhut mengatakan hilirisasi rumput laut dapat mengurangi angka kemiskinan di wilayah pesisir. Menurutnya, 26% penduduk di dalam negeri tinggal di wilayah pesisir.
"Jadi, tidak akan ada masalah ekonomi lagi di sana karena rumput laut bisa dipanen setiap 30 hari. Selain itu, masyarakat bisa menternakkan komoditas lain, seperti lobster dan abalon," katanya.
Kementerian Kelautan dan Perikanan tengah mengembangkan pupuk dari rumput laut yang nantinya dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan 100 ribu hektar lahan. Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan KKP Budi Sulistyo menyampaikan bahan baku yang digunakan adalah rumput laut jenis Sargassum Sp, Ulva Lactuca, Eucheuma Spinosum, dan Eucheuma Cottoni.
“Ini dikembangkan sebagai bio-fertilizer. Produksi yang kami terima dari pelaku usaha rumput laut itu 3.600 ton cair per tahun. Ini dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan pupuk pada 100 ribu hektare lahan,” kata Budi dalam acara Pangan Biru untuk Swasembada Pangan di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada Senin (11/11).
Budi mengatakan, pembuatan pupuk dari rumput laut merupakan salah satu bentuk hilirisasi guna mempercepat swasembada pangan. Dia menyebut dengan jumlah keperluan pupuk di Indonesia mencapai 13 juta ton, sementara pemenuhan pupuk konvensional sekitar 50%, dia berharap kebijakan swasembada ini menjadi pemicu dorongan pembuatan pupuk rumput laut.
Budi menyampaikan, produksi pupuk rumput laut ini berasal dari pelaku usaha binaan KKP di Bali. “Hasil pupuknya sudah ada di pasar, sudah ada izinnya, dan sudah edar,” ujarnya.