Apa itu Fortifikasi Pangan? Upaya untuk Atasi Stunting di Indonesia


Stunting di Indonesia merupakan masalah serius yang membutuhkan kerja sama lintas sektor. Perbaikan gizi telah menjadi fokus perhatian pemerintah, salah satunya melalui program fortifikasi pangan.
Fortifikasi pangan merupakan proses penambahan zat gizi penting ke dalam bahan makanan, seperti vitamin A, B1, B3, B6, B12, asam folat, zat besi, seng, dan yodium. Di Indonesia, beras menjadi salah satu komoditas utama yang berpotensi difortifikasi mengingat tingginya tingkat konsumsi masyarakat terhadap bahan pokok ini.
Menurut Country Director Nutrition International di Indonesia, Herrio Hattu, fortifikasi pangan merupakan langkah strategis dalam meningkatkan asupan gizi masyarakat, khususnya pada kelompok rentan.
“Tujuan fortifikasi adalah untuk meningkatkan asupan gizi masyarakat, terutama dalam mengatasi kekurangan gizi mikro yang menjadi salah satu penyebab terjadinya stunting,” kata Herrio saat berkunjung ke Kantor Katadata, di Jakarta, Selasa (20/5).
Upaya fortifikasi juga didukung oleh regulasi nasional. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, mengamanatkan perlunya penetapan persyaratan untuk pengayaan gizi (fortifikasi) terhadap pangan tertentu yang beredar, guna perbaikan gizi di masyarakat.
Dalam kerangka RPJMN 2025–2029, fortifikasi pangan menjadi salah satu indikator dalam perlindungan sosial. Pemerintah menilai fortifikasi sebagai solusi praktis dan berkelanjutan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dan menurunkan prevalensi stunting secara nasional.
Nutrition International, organisasi global yang berbasis di Ottawa, Kanada, aktif mendukung berbagai program gizi dan kesehatan di Asia dan Afrika. Di Indonesia, organisasi ini bekerja sama dengan pemerintah, lembaga global dan regional, serta organisasi masyarakat sipil untuk membangun kemitraan dalam mengatasi tantangan gizi dan kesehatan yang kompleks.
Catatan: berita ini telah mengalami perubahan setelah ada konfirmasi dari pihak Nutrition International Indonesia.