Kemenperin: Industri RI Sulit Bersaing dengan Vietnam Meski Tarif AS Lebih Kecil
Kementerian Perindustrian atau Kemenperin menyatakan sektor manufaktur lokal masih akan sulit bersaing dengan Vietnam walaupun tarif impor produk asal Indonesia ke Amerika lebih rendah dibandingkan Vietnam. Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin Putu Juli Ardika menjelaskan daya saing produk manufaktur asal Vietnam akan lebih tinggi lantaran memiliki biaya produksi lebih rendah.
"Ini masalah efisiensi ya, maksudnya biaya energi di Vietnam lebih rendah dibandingkan dengan Indonesia, biaya untuk lahan juga lebih murah," kata Putu di kantornya, Rabu (30/7).
Seperti diketahui, Presiden Amerika Serikat Donald J Trump menetapkan tarif impor produk asal Indonesia sebesar 19%Sementara tarif impor untuk Vietnam ditetapkan sekitar 20%.
Putu mencontohkan biaya produksi pada industri furnitur lokal lebih tinggi daripada mebel Vietnam. Namun Putu meyakini furnitur dari dalam negeri memiliki kesempatan untuk mendorong daya saing.
Menurut putu, salah satu cara peningkatan daya saing industri mebel nasional adalah otomasi. Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia atau HIMKI menyatakan industri furnitur nasional memerlukan investasi hingga US$ 1,8 miliar atau Rp 30 triliun untuk mendongkrak ekspor, dengan memanfaatkan tarif impor ke AS sebesar 19%.
Putu mencatat pemerintah telah memberikan tiga dukungan pembiayaan kepada pelaku industri furnitur. Pertama, subsidi bunga pinjaman sebesar 5% untuk pembelian mesin produksi.
Dia mengatakan, diskon bunga pinjaman tersebut merupakan bagian dari paket stimulus ekonomi periode Januari-Februari. Anggaran negara yang dikeluarkan untuk subsidi bunga tersebut mencapai Rp 300 miliar.
Selain itu, Putu mengatakan industri furnitur dapat menggunakan fasilitas Kredit Usaha Rakyat dengan bunga 6%. Terakhir, Putu mencatat kantornya masih menjalankan program modernisasi peralatan produksi.
Putu menjelaskan pemerintah akan mengganti biaya pembelian mesin hingga 40% dari harga beli. Menurutnya, seluruh dukungan tersebut dapat dipakai pabrikan furnitur karena masuk dalam kategori industri padat karya.
"Di samping kami memfasilitasi pengembangan pasar non-tradisional untuk industri furnitur, seperti India dan negara-negara di Timur Tengah," katanya.
Ketua HIMKI, Abdul Sobur, mengatakan investasi Rp 30 triliun dibutuhkan agar pabrik furnitur domestik dapat merealisasikan penurunan tarif produk lokal di Amerika Serikat menjadi 19%. Tarif tersebut berpotensi mendongkrak nilai ekspor furnitur ke Amerika Serikat menyentuh US$ 5 miliar pada 2028. Adapun nilai ekspor mebel ke Negeri Paman Sam diproyeksi mencapai US$ 2,5 miliar atau 2,5% dari total pangsa pasar pada tahun ini.
Sobur menilai peningkatan performa ekspor akan sulit dilakukan dengan kondisi saat ini. Sebab, 85% dari pelaku industri mebel nasional masih sulit memenuhi volume pesanan maupun tenggat waktu yang diminta konsumen Amerika Serikat.
"Butuh investasi teknologi, bahan baku stabil, dan model produksi yang lebih efisien agar tarif rendah bisa dimanfaatkan maksimal," kata Sobur kepada Katadata.co.id, Rabu (30/7).
Sobur menyampaikan kebutuhan investasi US$ 1,8 miliar akan digunakan sebagai modernisasi mesin, penguatan produksi bahan baku, pengembangan tenaga kerja, dan modal kerja. Secara rinci, mayoritas dana segar tersebut akan menggantikan mesin di 2.000 pabrik mebel senilai US$ 800 juta.
Menurut dia, mayoritas pabrik furnitur masih menggunakan mesin semi manual dengan efisiensi rendah. Alhasil, peningkatan kapasitas produksi akan terhambat saat lonjakan permintaan dari Amerika Serikat terjadi.
Sementara itu, investasi senilai US$ 500 juta dibutuhkan untuk mengembangkan hutan tanaman industri sehingga cepat tumbuh, pabrik pengolahan panel, dan pabrik komponen mebel. Investasi tersebut dibutuhkan lantaran bahan baku industri mebel kini tidak stabil.
"Kayu, rotan, dan bahan baku pelengkap sering terkendala regulasi, ketersediaan, dan harga. Fluktuasi ini menghambat kemampuan industri untuk meningkatkan produksi berkelanjutan," katanya Rekomendasi Pro
