Pemerintah Longgarkan Aturan Wajib Bioetanol Imbas Produksi Masih Terbatas
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral atau ESDM berencana mengubah implementasi program pencampuran wajib bensin dan etanol berdasarkan wilayah pada 2030. Perubahan pendekatan besaran campuran menjadi wilayah akan dilakukan mempertimbangkan kapasitas produksi etanol di dalam negeri.
Untuk diketahui, pemerintah menargetkan pencampuran etanol dan bensin dinaikkan dari saat ini sebesar 5% atau E5 menjadi E10 pada 2029. PT Pertamina baru menjual E5 dalam bentuk Pertamax Green pada 116 SPBU yang tersebar hanya di Pulau Jawa.
"Implementasi E10 akan bergantung pada kapasita produksi etanol. Kalau masih terbatas, program wajib bioetanol tidak akan berlaku secara nasional, namun secara regional," kata Direktur Bioenergi Kementerian ESDM, Edi Widodo di Jakarta Selatan, Rabu (27/8).
Edi mensinyalir pendekatan program wajib bioetanol akan memperluas penjualan Pertamax Green ke luar Pulau Jawa. Menurutnya, Pertamax Green sejauh ini hanya dijual di Pulau Jawa, yakni Jawa Timur, Jakarta, Banten, Jawa Barat, dan Jawa Tengah.
Menurut Edi, penambahan campuran menjadi E10 akan dilakukan jika kapasitas produksi etanol mencapai 1,2 juta kiloliter pada 2030. Asosiasi Produsen Spiritus dan Etanol Indonesia atau Apsendo mendata kapasitas terpasang industri etanol nasional baru sekitar 300.000 kiloliter.
Edi menghitung butuh 13 pabrik etanol baru untuk mencapai target produksi 1,2 juta kiloliter. Apsendo memperkirakan total investasi yang dibutuhkan untuk mencapai target tersebut sekitar Rp 6,5 triliun.
Di sisi lain, Edi mengatakan program wajib bioetanol tidak menggunakan subsidi pemerintah sejauh ini. Menurutnya, pemerintah belum akan mengubah kebijakan tersebut mengingat minimnya anggaran pemerintah.
Ketua Aspendo, Izmirta Rachman mengatakan potensi investasi sekitar Rp 6,5 triliun dalam bentuk 13 pabrik ethanol hilang akibat Peraturan Menteri Perdagangan No. 16 Tahun 2025. Sebab, kebijakan tersebut dinilai menciptakan ketidakpastian pasar etanol di dalam negeri.
"Sebelumnya, potensi investasi 13 pabrik etanol itu bukan hanya ada, tapi kami tinggal mengeluarkan uangnya," kata Rachman.
Rachman menjelaskan Pasal 93 Permendag No. 16 Tahun 2025 membebaskan syarat Perizinan Impor dalam proses impor bahan bakar lainnya. Untuk diketahui, etanol merupakan bahan bakar untuk memproduksi bahan bakar nabati, seperti Pertamax Green.
Namun Rachmat menyampaikan dua dari tiga pos tarif yang kini memiliki syarat impor lebih longgar merupakan bahan baku untuk industri non energi. "Dua pos taarif tersebut menyerap 125.000 kiloliter atau 99% hasil produksi industri ethanol pada tahun lalu," kata Rachman di Jakarta Selatan, Rabu (27/8).
Rachman mengaku sebagian produsen ethanol lokal telah mengurangi kapasitas produksinya pada bulan ini. Dengan kata lain, pabrikan berhenti menyerap molases atau tetes tebu besutan petani yang akhirnya mengancam menghentikan proses penggilingan gula.
Seperti diketahui, tetes tebu merupakan limbah dari proses produksi gula. Kini sebagian besar pabrik gula mengancam menghentikan produksi lantaran tangki penyimpanan tetes tebu yang terhubung langsung dengan mesin produksi akan luber dalam waktu dekat.
Di samping itu, Rachman menemukan sebagian produsen ethanol kini mulai berencana beralih menjadi importir ethanol dalam waktu dekat. Sebab, Permendag No. 16 Tahun 2025 akan membuka pasar domestik terhadap ethanol asing yang harganya lebih rendah sekitar 20% dari etanol lokal.
"Pabrik etanol kini menjaga diri dan bahkan berpikir mengubah model bisnis jadi importir. Sebab, pasar etanol nasional akan dikuasai oleh pedagang atau pelanggan kami saat ini dengan langsung melakukan impor," katanya.
