Produktivitas Petani Sawit Rendah, RI Berisiko Kehilangan Puluhan Triliun Rupiah
Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) memperkirakan, Indonesia berpotensi kehilangan miliaran dolar atau puluhan triliun rupiah setiap tahunnya di industri sawit. Kerugian ini berisiko muncul akibat kesenjangan produktivitas, hilangnya premi pasar, dan eksklusi dari pasar global yang semakin teregulasi, seperti yang diatur dalam Peraturan Deforestasi Uni Eropa (EUDR).
RSPO menyoroti masih rendahnya hasil panen petani kecil, yakni rata-rata dua hingga tiga ton per hektar dibandingkan dengan enam hingga delapan ton per hektar di perkebunan yang lebih besar. Padahal, Indonesia adalah produsen minyak sawit terbesar di dunia yang menyumbang 55% dari pasokan global dan hampir separuhnya dihasilkan petani kecil.
Berdasarkan kondisi tersebut, RSPO meneken nota kesepahaman atau MoU dengan Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO). MoU ini menyepakati upaya untuk mendorong sertifikasi dan akses pasar bagi petani kecil di Indonesia.
Adapun kerja sama antara RSPO dan APKASINDO tak hanya mencakup upaya peningkatan produktivitas petani, tetapi juga partisipasi yang adil, pemberdayaan, dan ketahanan ekonomi pedesaan. Mereka juga ingin memastikan bahwa jutaan petani kecil tidak tertinggal di tengah meningkatnya tuntutan global akan keberlanjutan dan ketertelusuran.
Di lima bidang utama kolaborasi, nota Kesepahaman ini menetapkan petani kecil sebagai mitra ekonomi penuh, alih-alih pemasok marjinal, dengan akses pasar yang adil, pemberdayaan sosial, dan praktik berkelanjutan.
Kepala Petani Kecil RSPO Guntur Cahyo Prabowo menekankan, MoU ini tak hanya tentang sertifikasi, tetapi tentang keadilan, ketahanan, dan pertumbuhan inklusif. Menurut dia, setiap ton yang hilang akibat produktivitas rendah mengikis keunggulan global Indonesia.
"Di dunia di mana keberlanjutan, ketertelusuran, dan kesetaraan menjadi aturan perdagangan baru, berinvestasi pada petani kecil merupakan pendorong utama untuk membuka pertumbuhan yang dibutuhkan guna mencapai target nasional 8%," ujar dia dalam keterangan resmi, dikutip Rabu (10/9).
Menurut dia, Indonesia berisiko kehilangan miliaran dolar setiap tahunnya akibat kesenjangan produktivitas, hilangnya premi pasar, dan eksklusi dari pasar global yang semakin teregulasi, seperti yang diatur dalam Peraturan Deforestasi Uni Eropa (EUDR). Dengan memprioritaskan inklusi petani kecil, Nota Kesepahaman ini memastikan kepemimpinan kelapa sawit Indonesia tetap tangguh dan berkelanjutan.
Dr. Gulat ME Manurung, Ketua DPP APKASINDO, menekankan bahwa Nota Kesepahaman ini menandai tonggak bersejarah bagi petani kecil Indonesia. Selama ini, petani sering dianggap sebagai pemasok marjinal, padahal petani kecil berkontribusi hampir 40% dari produksi kelapa sawit nasional.
“Dengan kolaborasi strategis dengan RSPO ini, kami diakui sebagai mitra setara dalam rantai pasok global. Bagi APKASINDO, ini bukan hanya tentang sertifikasi, tetapi juga tentang masa depan jutaan keluarga petani, akses pembiayaan, pasar yang adil, dan peningkatan produktivitas tanpa perlu membuka lahan baru. Kami yakin kemitraan ini akan memperkuat ketahanan ekonomi pedesaan, menutup kesenjangan hasil panen, dan menjaga kepemimpinan Indonesia dalam kelapa sawit berkelanjutan.”
Kerja sama ini juga merupakan ajakan terbuka bagi pemerintah, lembaga keuangan, dan pemangku kepentingan industri untuk membangun ekosistem yang kondusif bagi petani kecil. Dengan mengakui petani kecil sebagai mitra yang setara, Indonesia tidak hanya menjaga keberlanjutan tetapi juga memperkuat posisinya sebagai pemimpin global dalam industri kelapa sawit yang adil, inklusif, dan tangguh.
