Banjir Sumatera Tak Hentikan Produksi CPO, Bagaimana Proyeksinya ke Depan?
Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia atau Gapki, Eddy Martono menyatakan bencana banjir di Sumatera tidak akan mengganggu produksi minyak sawit mentah atau CPO untuk tahun depan. Sebab, banjir di Aceh dan Sumut hanya berdampak pada akses kebun menuju pelabuhan.
"Sejauh ini belum ada pabrik kelapa sawit yang berhenti produksi akibat bencana, kecuali pergeseran tangki milik satu PKS di Aceh Tamiang yang kini dalam proses perbaikan," ujarnya kepada Katadata.co.id, Selasa (9/12).
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia atau Apkasindo, Gulat Manurung, memproyeksi produksi minyak sawit mentah akan susut sekitar 5 juta ton tahun depan. Namun, dia membantah penurunan tersebut disebabkan karena bencana banjir di Sumatera, melainkan program pemerintah yang gagal.
Menurut Gulat, rendahnya realisasi program peremajaan kebun sawit atau replanting dan penyitaan kebun sawit rakyat oleh pemerintah menjadi penyebab utama penurunan produksi. Dari dua faktor itu, minimnya replanting dinilai sebagai penyumbang terbesar.
"Kebun yang telah melakukan replanting produksinya kini 5 sampai 7 ton per hektare per tahun. Ini perbedaanya bumi dan langit," kata Gulat kepada Katadata.co.id, Selasa (9/12).
Kementan mendata realisasi program replating pada 2017-2025 hanay mecapai 399.996 hektare dari target 1,26 juta hektare. Realisasi replating terbesar terjadi pada 2020 sejumlah 91.433 hektare atau 50,8% dari target.
Adapun capaian program replanting tahun ini hanya mencapai 23.271 hektare dari target 120.000 hektare. Gulat mengtakan perkebunan yang belum melakukan replanting memiliki produktivitas yang rendah atau hanya 1,6 sampai 1,7 ton per hektare per tahun.
Selain minimnya replanting, Gulat menyoroti kebijakan penyitaan kebun sawit oleh pemerintah. Pada tahun ini, 833.000 hektare lahan milik 438 petani sawit rakyat telah diserahkan kepada PT Agrinas Palma Nusantara.
Menurut Gulat, kebijakan ini menekan produksi melalui dua jalur:
1. memunculkan sentimen negatif sehingga petani enggan melakukan pemupukan,
2. rendahnya produktivitas kebun yang dikelola dalam skema kerja sama operasi (KSO).
“Banyak petani memilih mengurangi pupuk karena harga pupuk mahal dan mereka takut kebunnya tiba-tiba disita,” ujarnya.
Dari total lahan yang diserahkan ke Agrinas, 509.000 hektare disebut dalam kondisi rusak, sementara 300.000 hektare belum ditanami. Kebun-kebun tersebut akan dipanen melalui skema KSO bersama petani lokal, namun Gulat pesimistis produktivitasnya bisa optimal.
“Dalam KSO, petani hanya menerima 60% keuntungan. Mereka bisa saja mengurangi pupuk demi menyiasati pendapatan. Ini berisiko membuat produksi semakin turun,” katanya.
Namun Gulat menilai produktivitas kebun milik Agrinas akan minim sebab petani hanya menikmati 60% dari keuntungn kebun. Karena itu, Gulat memprediksi petani akan mengurangi dosis pupuk untuk meningkatkan pendapatan.
"Jangan sampai skema KSO pengelolaan kebun Agrinas jangan menjadi bumerang. Jangan sampai negara menanggung kerugin ganda karena target hasil produksi kebun sawit hasil sitaan tidak tercapai," katanya.
