Menimbang Arah Kebijakan Ekonomi dari Pilpres AS: Trump atau Biden?
Pemilu Amerika Serikat (AS) akan digelar pada 3 November 2020. Kedua kandidat presiden, Donald Trump dan Joe Biden dinilai memiliki pandangan yang berbeda 180 derajat soal ekonomi, perdagangan internasional dan politik luar negerinya. Siapa yang bakal lebih menguntungkan bagi Indonesia?
Salah satu topik utama dunia dalam pemilu AS adalah perang dagang dengan Tiongkok. Perang dagang kedua raksasa ekonomi ini secara tidak langsung menekan ekspor dan impor dunia, serta memberikan dampak negatif terhadap perekonomian global, termasuk Indonesia.
Sejumlah ekonom menilai ekonomi dunia, termasuk Indonesia akan lebih sulit membaik jika Presiden Donald Trump kembali terpilih. Kondisinya akan berbeda jika penantangnya dari Partai Demokrat, Joe Biden, yang memenangkan pemilu.
Biden yang diproyeksikan bakal menormalisasi hubungan AS-Tiongkok sedang mengungguli Trump menurut sejumlah jajak pendapat. Namun hasil akhir pemilu bisa jadi lain, seperti yang juga terjadi pada pilpres 2016, saat Trump mengalahkan Hillary Clinton.
Jika Trump kembali terpilih, dia kemungkinan akan melanjutkan kebijakan ekonominya di periode kedua. Dengan pajak yang lebih rendah, kemampuan pemerintahan Trump untuk memberikan stimulus fiskal dalam periode 2021-2024 akan terbatas di kisaran US$ 334 miliar.
Sedangkan Joe Biden, dalam manifesto kebijakan ekonominya menyatakan rencana yang berbeda. Ia akan menaikkan pajak pendapatan dan korporasi sebesat 15% hingga mengembalikannya ke era sebelum Trump.
Dengan penerimaan negara yang lebih besar, Biden yang pernah menjabat sebagai wakil presiden pada kepemimpinan Barack Obama berjanji memberikan stimulus fiskal yang jauh lebih besar dibanding Trump, yakni sekitar US$2,5 triliun selama periode 2021-2024.
Stimulus ini diperkirakan tak hanya berdampak secara domestic karena ekonomi Amerika merupakan 30% dari ekonomi dunia. “Maka ketika AS melakukan stimulus besar pasti dampaknya akan cukup besar bagi negara lain, termasuk emerging market seperti Indonesia," Ekonom dari Samuel Sekuritas Indonesia, Ahmad Malik Zaini.
Lembaga riset Moody’s Analytics memproyeksikan ekonomi AS akan tumbuh 4,2% pada 2021-2024 jika Biden sebagai presiden AS. Sementara jika Trump yang terpilih, ekonomi AS diproyeksikan hanya akan tumbuh sebesar 3% pada periode yang sama.
Berikut adalah Databoks pertumbuhan ekonomi AS hingga kuartal II 2020:
Dari sisi perdagangan internasional, menurut Ahmad Malik, perang dagang AS-Tiongkok akan berlanjut jika Trump kembali ke Gedung Putih. Sementara Biden cenderung mengatasi sengketa secara multilateral, melalui organisasi perdagangan dunia (WTO).
Dengan asumsi itu, perang dagang diprediksi mereda jika Biden terpilih. "Jadi pertumbuhan ekonomi akan lebih kencang, harga komoditas dunia seperti nikel, minyak, CPO, juga logam mulia akan lebih tinggi ketimbang kalau Trump yang terpilih," kata Ahmad Malik.
Hal senada diungkapkan oleh ekonom dari Insitute for Development of Economic and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira. Menurutnya, perang dagang AS-Tiongkok secara tidak langsung telah menyebabkan ‘guncangan’ bagi Indonesia. Sebab, tensi kedua negara membuat kinerja ekspor impor seluruh dunia ikut merosot.
Posisi Indonesia
Indonesia sebenarnya hanya ada di peringkat ke-50 sebagai mitra dagang terbesar AS. Namun, Indonesia merupakan negara ke-15 yang menyumbang defisit terbesar. Saat AS di bawah Trump melakukan pengetatan impor, perdagangan dengan Indonesia turut dievaluasi. “Artinya Indonesia bisa menjadi target pengenaan hambatan dagang, baik tarif maupun non tarif," kata Bhima.
Bagaimanapun, Bhima menyatakan, Indonesia merupakan negara pasar sekaligus tujuan investasi terbesar di ASEAN. Siapapun presiden yang terpilih, AS tidak akan melepas Indonesia.
Sebab, jika AS melepas kepentingan di Indonesia, maka pasar akan didominasi Tiongkok. "Mereka pasti akan melihat Indonesia sebagai battleground dari kepentingan antara Tiongkok dan negara-negara Barat," kata Bhima.
Sementara itu, Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Shinta Kamdani menyatakan, Amerika merupakan salah satu tujuan utama ekspor nonmigas Indonesia selain Tiongkok dan Uni Eropa.
Lima produk ekspor andalan Indonesia ke Amerika Serikat adalah produk pakaian, hasil karet, alas kaki, produk elektronik, dan furnitur.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan neraca perdagangan Indonesia hingga Agustus 2020 mengalami surplus US$ 6,22 miliar dari AS. Bukan hanya tahun ini, neraca dagang Indonesia selalu surplus neraca dagang Indonesia-AS antara US$ 8-9 miliar per tahun, setidaknya sejak 2015.
Berikut adalah Databoks yang membandingkan kinerja perdagangan Indonesia-AS dan Indonesia-Tiongkok pada September 2020:
Selain itu, Shinta juga melihat peluang dari perang dagang AS-Tiongkok. Bea masuk tinggi yang dikenakan AS bagi produk impor dari Tiongkok akan memberatkan investor asing. Kondisi ini akan membuat mereka terpaksa melirik negara lain untuk menjadi basis produksinya. "Kami melihat ini sebagai peluang, kita harus kejar pabrik-pabrik yang relokasi dari Tiongkok," ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, mengatakan setidaknya ada 143 perusahaan yang siap merelokasi investasi pabriknya dari Tiongkok. Perusahaan-perusahaan itu berasal dari Amerika Serikat, Taiwan, Korea Selatan, Hong Kong dan Tiongkok dengan potensi penyerapan tenaga kerja lebih dari 300 ribu.
Lima hari menjelang pilpres, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo berkunjung ke Indonesia, setelah selang beberapa pekan sebelumnya Menteri Pertahanan Indonesia Prabowo Subianto mengunjungi AS.
Dalam konferensi pers bersama dengan mitranya dari Indonesia, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengatakan kedua negara sepakat memperkuat kerja sama. "Kami sepakat bahwa kedua negara dengan skala ekonomi seperti yang kami miliki, bisa melakukan lebih banyak perdagangan. Akan ada lebih banyak investasi di sini dari Amerika Serikat, terutama dalam sektor digital, energi dan infrastruktur," kata Pompeo pada Kamis (29/10).