Konflik Israel-Palestina Terus Memanas, Apa Pemicunya?
Konflik antara Israel dan Palestina memanas selama sepekan terakhir. Eskalasi ketegangan berlangsung cepat dan berbuntut pada aksi kekerasan terburuk dalam beberapa tahun terakhir di wilayah itu.
Militer kedua negara di Timur Tengah itu melakukan serangan udara di Gaza. Kerusuhan dan bentrokan juga melanda sejumlah kota di Israel antara warga Arab dan Yahudi.
Di Acre, sekelompok warga Arab melakukan aksi kekerasan dan menyebabkan seorang pria Yahudi terluka parah. Di Bat Yam, gerombolan sayap kanan Yahudi mencoba menghukum seorang pengemudi Arab. Ia juga mengalami luka parah dan dibawa ke rumah sakit.
Anggota parlemen Israel Aida Touman Suleiman mengaku sangat khawatir dengan situasi yang terjadi. "Saya terkunci di rumah dan tidak ada jalan keluar,” katanya, dikutip dari CNN, (13/5).
Gas air mata memenuhi rumah-rumah. Situasinya, menurut dia, tidak aman. Serangan terhadap warga Arab terjadi di berbagai kota. Ia tak yakin polisi mampu mengendalikan situasi.
Konflik Usai Salat Jumat
Kondisi memanas mulai terjadi pada Jumat pekan lalu. Polisi Israel menembakkan peluru karet dan granat kejut ke arah warga Palesina yang bersenjatakan batu di kompleks Masjid Al Aqsa, Yerusalem.
Bentrokan terjadi karena adanya ancaman pengusiran warga Palestina di Sheikh Jarrah, dekat Kota Tua, Yerusalem. Para pemukim Yahudi mengklaim wilayah tersebut.
Sebanyak 205 warga Palestina dan 17 aparat keamanan Israel terluka, menurut Reuters. Peristiwa itu terjadi usai puluhan ribu warga Palestina melakukan salat Jumat.
Banyak warga yang memilih untuk ikut aksi protes menentang pengusiran warga Palestina tersebut. Bentrokan tak terelakkan. Polisi Israel menembakkan meriam air dari kendaraan lapis baja untuk membubarkan pemrotes.
Milisi Gaza telah menembakkan lebih dari seribu roket ke Israel sejak Senin sore. Israel menanggapinya dengan serangan udara yang menghancurkan di Gaza.
"Kami meningkat menuju perang skala penuh. Para pemimpin di semua sisi harus mengambil tanggung jawab de-eskalasi," kata Koordinator Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Proses Perdamaian Timur Tengah Tor Wennesland, kemarin.
Sebuah truk terbakar di pintu masuk kota campuran Yahudi-Arab, Lod, di mana keadaan darurat telah diumumkan. Walikota Lod, Yair Revivo, mengatakan bahwa hidup berdampingan selama beberapa dekade telah “terinjak-injak”.
Dia mengatakan perusuh Arab-Israel telah membakar sinagoge, puluhan kendaraan, membakar wadah sampah, menghancurkan bendera Israel, dan mengibarkan bendera Palestina.
Seorang warga Lod keturunan Arab-Israel, Wael Essawi, mengatakan sebuah masjid diserbu oleh polisi Israel dan warga Yahudi. Gas air mata ditembakkan dan mobil dibakar. "Kami tidak bisa berbuat apa-apa kecuali membuka jendela sehingga bisa bernapas," katanya.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengecam kekerasan di kota-kota Israel dan memerintahkan polisi untuk mengadopsi kekuatan darurat. “Tidak ada yang membenarkan hukuman mati terhadap orang Yahudi oleh orang Arab dan tidak ada yang membenarkan hukuman mati terhadap orang Arab oleh orang Yahudi," katanya.
Mengapa Sheikh Jarrah Jadi Rebutan?
Selama bertahun-tahun, Israel berusaha mengeluarkan tujuh keluarga Palestina dari rumah mereka di Yerusalem Timur. Organisasi nasionalis Israel bernama Nahalat Shimon menggunakan undang-undang 1970 dalam perebutan wilayah itu.
Aturan itu menyebut, pemilik tanah sebelum 1948 (tahun pembentukan negara Israel) adalah keluarga Yahudi. Artinya, penghuni Palestina di kota itu harus digurus dan properti mereka wajib diberikan ke Israel.
Warga Palestina berpendapat undang-undang tersebut tidak adil. Mereka tidak memiliki sarana hukum untuk mengklaim kembali propertinya.
Mahkamah Agung Israel seharusnya mendengarkan banding kasus Sheik Jarrah pada 10 Mei lalu. Namun, Kejaksaan Agung meminta penundaan.
Pertarungan hukum atas rumah-rumah di Sheikh Jarrah telah memicu kembali perdebatan siapa yang berhak mengklaim kota itu, situs-situs suci, dan sejarahnya. Di kota ini terdapat makam imam agung Yahudi, yaitu Shimon Hatzadik atau Simeon yang Agung.
Mengapa Yerusalem Timur Jadi Isu Sensitif?
Yerusalem selalu menjadi bagian paling sensitif dari konflik Israel-Palestina. Perubahan kecil pada situasi yang sulit dapat memicu protes besar-besaran. Suara ekstremis sering kali hadir di tengah konflik tersebut.
Dua dekade sejak negara Israel berdiri, kota Yerusalem terpecah belah. Di sisi timur dikuasai Yordania. Bagian baratnya milik Israel dan menjadi Ibu kotanya.
Lalu, ada Kota Tua yang menjadi tempat suci agama Kristen karena terdapat tempat Yesus dimakamkan. Di sini pula terdapat Masjid Al Aqsa tempat Nabi Muhammad melakukan perjalanan malamnya. Umat Yahudi juga percaya di masjid inilah tempat berdirinya Bait Suci.
Selama Perang Enam Hari 1967, Israel merebut Yerusalem Timur dan menempatkan seluruh kota di bawah kendalinya. Israel juga merebut Tepi Barat, Dataran Tinggi Golan, dan Semenanjung Sinai. Wilayah yang terakhir ini kemudian dikembalikan ke Mesir di bawah perjanjian damai 1979.
Melansir dari BBC, Israel mengakui seluruh Yerusalem sebagai ibu kotanya. Sedangkan Palestina menyatakan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya di masa depan. Amerika Serikat adalah salah satu dari segelintir negara yang mengakui klaim Israel atas seluruh wilayah kota tersebut.
Untuk mengukuhkan keberadaannya, selama lima dekade terakhir, Israel terus membangun pemukiman di daerah itu. Kini jumlah penghuninya mencapai 600 ribu warga Yahudi. Palestina menyebut pembangunan itu melanggar hukum internasional dan menghambat upaya perundingan damai.